Nanggroe.net, Banda Aceh | Koalisi NGO-HAM Aceh melalui Kepala Divisi Konstitusi, Muhammad Reza Maulana menilai terkait pernyataan Direktur Jenderal (Dirjend) Perencanaan Anggaran Daerah (PAD) Kemendagri Drs. Arsan A Latief, MSi tentang Proyek Multiyers di Aceh adalah pemahaman yang tidak tuntas dalam memberikan statementnya perihal Paripurna pembatalan Proyek Multiyears oleh DPRA.
Menurutnya, oernyataan Direktur PAD yang menyatakan “tidak ada pihak manapun yang dibolehkan mengutak-atik APBA” yang sudah disahkan bersama adalah pernyataan kurang baik disampaikan oleh seorang Direktur PAD, karena dipandang menyesatkan dan terkesan tidak mengerti aturan perencaaan dan kaitannya dengan tugas pengawasan yang dilakukan oleh DPRA dalam tupoksinya.
“Pernyataan utak-atik bukan kata yang tepat untuk dimunculkan, tetapi dasar aturan yang mana menyatakan bahwa Paripurna yang dilakukan DPRA itu melanggar aturan hukum yang berlaku, sehingga Direktur PAD dapat berpendapat bahwa Pemerintah Aceh harus melaksanakan kegiatan yang telah disepakati tersebut,” ujarnya kepada Nanggroe.net, Selasa (28/7) melalui rilisnya.
Baca Juga : Senator Syech Fadil : Proyek Multiyears Harapan Rakyat di Perdalaman Aceh
Lanjutnya, keputusan tertinggi di DPRA dalam bentuk kesepakatan atau kesepahaman antara lembaga Eksekutif dan Legislatif ada di Sidang Paripurna, sidang paripurna adalah Sidang keputusan tertinggi lembaga legislatif untuk menerbitkan keputusan secara kelembagaan. Begitulah sistem ketatanegaraan kita di Indonesia berdasarkan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Jadi jika Direktur PAD menyatakan tidak boleh mengutak-atik APBA, kami berikan contoh kepada beliau agar dapat lebih memahami ketentuan yang ada, dimana Perubahan APBA atau yang disebut APBA-P di dalamnya berisi “utak atik”, sehingga tidak ada larangan mengutak-atik sepanjang berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tuturnya Reza,
“Terlebih lagi yang dilakukan oleh DPRA bukanlah “utak-atik” tetapi menyeleraskan ketentuan yang ada sehingga segala keputusan yang diterbitkan harus berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan. Uraian ini bukan berdasarkan pendapat kami, tetapi tertuang jelas di dalam ketentuan UU Keuangan Negara, UU Pemerintah Daerah termasuk UU Perintahan Aceh,” tuturnya lagi.
Baca Juga : Jika Multiyears Bisa Turunkan Kemiskinan di Aceh Saya Siap Potong Tangan
Kata Reza, ketentuan yang diterbitkan sendiri oleh Kemendagri sebagaimana tertuang di dalam Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Anggaran Daerah, Pasal 54A ayat (3) menentukan: “Penganggaran kegiatan tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan atas persetujuan DPRD yang dituangkan dalam nota kesepakatan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD”.
“Artinya hasil kesepakatan yang telah dituangkan dalam bentuk nota kesepakatan agar dapat dikatakan keputusan sah dari lembaga Legislatif yang yang harus dilakukan untuk menindaklanjutinya adalah melaksanakan paripurna untuk mengesahkan MoU tersebut menjadi keputusan sah lembaga DPRA,” tandanya.
Sehingga, karena hal tersebut tidak dilakukan maka tidak dapat dikatakan bahwa DPRA secara kelembagaan telah menyetujui proyek multiyears yang telah di MoU-kan tersebut, artinya keputusan DPRA yang membatalkan pelaksanaan Proyek Multiyears tersebut adalah tepat dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Penekanannya adalah pada prosedural pengambilan keputusan oleh lembaga legislatif bukan hanya pimpinan saja, sehingga bobot MoU tersebut menjadi keputusan kelembagaan bukan perorangan atau kelompok saja,” tegas Reza.
Selain itu, Kepala Divisi Konsitusi NGO HAM Aceh tersebut juga menanggapi sikap Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin yang menyatakan “pihaknya akan lepas tangan dalam artian melaksanakan fungsi pengawasannya.
“Ketua DPRA jangan hanya melakukan pengawasan-pengawasan saja, harus jelas dan tegas sikapnya, jika Pemerintah Aceh tetap ngotot melawan keputusan Sidang Paripurna dengan tetap melaksanakan proyek yang dibatalkan dalam paripurna itu, DPRA harus lebih tegas bersikap, karena UU memberikan penegasan sikap itu dalam Interpelasi dan Angket, sehingga tidak terkesan seperti yang terjadi selama ini, bahwa DPRA terkesan tidak punya power untuk melaksanan tugas pengawasannya tersebut,” tandas Reza.
Dalam penegasan Reza, Ia menyebutkan jika Plt. Gubernur Aceh tetap ngotot melaksanakan proyek tersebut dan mengangkangi keputusan Rapat Paripurna DPRA, maka tugas pengawasan yang harus dilakukan secara tegas adalah menerapkan ketentuan Pasal 78 ayat (2) huruf d UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan, Kepala daerah diberhentikan salah satunya dengan alasan tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b.
“Lantas apa itu Pasal 67 huruf b UU Pemda yaitu menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dasar tidak mentaati Keputusan DPRA sebagai lembaga Pengawas adalah bentuk ketidakpatuhan hukum atau tidak mentaati ketentuan peraturan perundang undangan,” pugkasnya
“Sehingga dapatlah DPRA melaksanakan fungsi pengawasannya secara maksimal dan tidak hanya gertak sambal dengan menggunakan hak Interpelasi maupun angket untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku,” tutup Muhammad Reza Maulana.
Komentar