Nanggroe.net, Pidie | Sidang ke-13 di Pengadilan Negeri Sigli untuk kasus dugaan makar atas nama Nasruddin dan Zulkifli Sigli kembali digelar pada Selasa (27/04/2021).
Agenda sidang adalah tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. Kedua terdakwa dituntut dengan hukuman yang berbeda. Nasruddin dituntut satu tahun penjara, sedangkan Zulkifli dituntut 8 bulan penjara.
Kedua terdakwa ini harus berhadapan dengan hukum hanya karena berekspresi di tempat terbuka dengan cara menaikkan spanduk yang bertuliskan “Kamo simpatisan ASNLF, Meununtut Aceh Pisah Dengan Indonesia, Acheh Merdeka”.
Awalnya kedua terdakwa ini didakwakan dengan 4 dakwaan alternatif, yaitu: Pertama, Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP yang ancamannya seumur hidup, atau selama-lamanya 20 tahun kurungan; Kedua, Pasal 106 KUHP jo Pasal 87 KUHP jo Pasal 53 (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP ancamannya seumur hidup, atau selama-lamanya 20 tahun kurungan; Ketiga, Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP Ke-1 KUHP dengan ancaman 6 tahun atau denada 450; dan Keempat, Pasal 45A Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) UU No. 19 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dengan ancaman 6 tahun atau denda 1 Milyar.
Baca Juga:
LBH Banda Aceh: Sidang Kasus Dugaan Makar Tidak Layak Disidangkan Secara Online
Setelah menghadirkan saksi, menguji alat bukti dan dengan menghadirkan Ahli, kasus ini semakin terang. Akhirnya Jaksa Penuntut Umum hanya yakin dengan dakwaan alternatif kesatu yaitu pasal 106 106 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Sedangkan pasal-pasal lain sebagaimana dimuat dalam dakwaan awal jaksa tidak digunakan dalam tuntutan ini.
Hal ini relevan dengan dengan pendapat saksi-saksi dan ahli yang dihadirkan baik oleh Jaksa Penuntut Umum maupun oleh tim Penasehat Hukum terdakwa. “Semua saksi menyebutkan bahwa tidak ada penghasutan saat berlangsungnya penaikan spanduk tersebut, sebagaimana tuduhan awal dalam dakwaan disebutkan oleh Jaksa Penuntut umum melanggar pasal 160 KUHP. Selain itu, semua saksi juga menyebutkan tidak ada yang terprovokasi, atau bahkan aktivitas penaikkan spanduk, sama sekali tidak berlangsung atas kekerasan atau paksaan.”
Selain itu, Ahli Bahasa yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut umum juga menyebutkan bahwa tidak ada frasa penghasutan dalam kalimat tersebut. Ahli ITE yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum juga menyebutkan bahwa secara teknologi informasi para terdakwa tidak memenuhi unsur, karena yang mengunggah ke publik itu bukan para terdakwa, melainkan orang lain.
Pegangannya hanya Ahli Pidana yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang menurut kami juga tidak tegas dan masih sangat kabur penjelasannya. Bahkan secara historis, Ahli Pidana tidak mampu menjelaskan asal usul pasal ini dengan lugas.
Di sisi lain, penasehat hukum juga menghadirkan 4 orang Ahli, dimana masing masing adalah 2 orang ahli pidana, satu orang ahli Antropologi Bahasa, dan satu orang Ahli HAM.
Baca Juga:
Rp. 109,7 Juta Untuk Bayar Listrik, PTPL Sewakan Gudang 120 Juta per Tahun
Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh Syahrul, S.H., M.H. menyampaikan “Ahli Pidana yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum menjelaskan bahwa pasal 106 terkait dengan makar tidak bisa dianggap sebagai makar jika perbuatan itu tidak disertai oleh kekerasan dan pemaksaan, selama itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kekerasan atau paksaan maka itu tidak bisa dikategorikan sebagai makar. Ahli HAM juga menyebutkan bahwa tindakan penaikan spanduk ini, tidak bisa dikatakan sebagai makar. Ini harus dilihat sebagai ekspresi publik terhadap hak politiknya, mengingat juga banyak tanggung jawab negara yang belum selesai di Aceh. Jadi dalam dimensi HAM, seharusnya negara hadir memfasilitasi, bukan malah menindak secara represif.”
Sidang selanjutnya pada Selasa, 4 Mei 2021 adalah agenda pembelaan, atau pledoi dari Penasehat Hukum. Kami akan membuat dan mengajukan pembelaan sebaik mungkin. Karena menurut kami, terdakwa layak dibebaskan, dan apa yang telah dilakukan oleh terdakwa sama sekali tidak termasuk dalam perkara makar. Tidak mungkin makar itu mampu dilakukan hanya dengan menaikkan spanduk dan tangan kosong, bahkan tidak punya basis massa atau pengikut. Bahkan Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan bahwa para terdakwa terlibat dalam organisasi ASNLF.
“Harapannya Majelis Hakim berpendapat sama dengan pandangan kami. Majelis Hakim harus melihat dan mempertimbangkan aspek-aspek, seperti: Pertama, perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah murni karena peran negara dalam mensejahterakan kehidupan rakyatnya tidak mereka rasakan sama sekali. Kedua, Aceh sebagai daerah transisi konflik bersenjata, terdapat peran negara untuk Aceh yang belum terselesaikan sehingga kekecewaan sperti ini terjadi. Dan ketiga, sebagai negara demokrasi yang memiliki komitmen dalam menjunjung tinggi HAM, maka aspek HAM tidak boleh sama sekali dilepaskan dari penegakan hukum.” Tutup Syahrul
Komentar