Fenomena kritik mengkritik atau bahkan bully-membully baik melalui status dan komentar singkat di media sosial atau bahkan lebih bersahaja dari itu melalui opini yang panjang lebar baik melalui media online maupun media cetak yang menyajikan kritikan-kritikan halus bahkan kasar bin bar-bar yang dilakukan oleh warga negara yang ditujukan kepada pemerintah adalah sebuah keniscayaan di alam demokrasi konon lagi di era digital seperti sekarang, semua orang bisa melemparkan kritikan hanya bermodalkan kuota internet yang sudah cukup murah untuk dibeli.
Kritik adalah salah satu cara merespon.
Ya kritik mengkritik itu sejatinya harus dilihat sebagai sebuah reaksi, bukan sebagai aksi, dalam artian bahwa kritik itu harus dilihat sebagai respon dari masyarakat terhadap rezim (pemerintah) atas segala kebijakannya baik yang berimbas langsung pada rakyat semisal kenaikan tarif listrik, lambatnya penanganan bencana maupun yang tidak berdampak langsung pada masyarakat seperti lemotnya kinerja pemerintah, tertutupnya pengelolaan anggaran, lemahnya kepemimpinan seorang kepala pemerintah, disharmonisasi antar lembaga negara maupun polemik-polemik lainnya yang sangat bisa jadi di mata pemerintah (pelaku aksi) itu dinilai terobosan namun di mata (pemberi reaksi) itu merupakan blunder sehingga memunculkan reaksi spontan, bersahaja, simple bahkan dalam bentuk komplek berupa opini-opini kritis yang muncul di media.
Atas dasar itulah saya mengatakan bahwa apa yang dilakukan publik itu pada dasarnya adalah sebuah reaksi yang terkadang kasar bin bar-bar yang tidak muncul dengan sendirinya tanpa dipicu oleh aksi (kebijakan) pemerintah, sehingga semakin kacau dan buruk kinerja pengelola pemerintahan maka semakin banyak reaksi yang muncul sebagai bentuk respon dari apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah harus bijak dalam menyikapi kritikan publik.
Adalah sangat tidak bijak ketika pemerintah atau pendukung pemerintah menilai setiap kritikan adalah sebagai bentuk kebencian, sehingga muncul pernyataan bahwa “Awak drokeh yang penteng takat PLT” (Kalian yang penting menghakimi PLT sebagai kepala pemerintahan) yang seakan-akan menggiring opini bahwa publik tidak ada kerjaan lain selain menyerang, mengkritik, menyalahkan dan menyudutkan pemerintah, padahal yang dilakukan oleh publik adalah merespon setiap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro pada kesejahteraan mereka, kontraproduktif dengan apa yang diharapkan oleh publik dan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah yang dimandatkan untuk mengelola negara yang dibiayai oleh pajak yang telah dibayar oleh publik. Lagi pula protes dan kritik yang dilakukan oleh publik itu juga merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi di negara demokrasi.
“Oh dulu tidak ada kritik sebar-bar sekarang” kata seorang senior misalkan, ya dulu tidak ada kritik sebar-bar yang dilakukan oleh para kritikus sekarang yang memang cukup masif dan militan dalam mengintip setiap kekurangan dan kesalahan pemerintah untuk dikritisi. Toh dulu untuk melakukan protes harus melakukan konsolidasi dulu, mengurus izin aksi dulu dan berbagai persiapan yang nanribet lainnya sebelum turun ke jalan untuk malakukan protes. Yang pasti semua itu dilakukan untuk memancing bahkan memaksa pemerintah untuk memperbaiki kinerjanya, merubah kebijakannya agar lebih sesuai dengan harapan publik yang telah membiayai makan, minum, biaya perjalanan, biaya ngopi serta berupa-rupa fasilitas mewah dan mahal lainnya, bahkan bisa jadi sampai pembersih wc di rumahnya semuanya dibiayai dengan anggaran publik.
Bagaimana dengan kritik yang dilemparkan oleh oposan?
Memang harus diakui bahwa ada sebahagian pengkritik memang mereka yang berafiliasi atau bahkan aktivis politik oposan yang berada di luar pemerintahan, tapi sekali lagi mereka juga tetap punya hak untuk mengkritik, mengawasi bahkan jika lebih ekstrim untuk menghukum dan mencari cara untuk menggulingkan pemerintahan jika memang kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah sudah cukup fatal, toh undang-undang juga menyediakan opsi impeachmen sebagai prosedur legal untuk menurunkan pemerintah di tengah jalan karena melakukan kesalahan tertentu.
Sebagai contoh misalnya publik baik secara personal maupun secara kolektif yang bernaung di bawah payung LSM atau ormas tertentu misalnya mempersoalkan atau mengkritik kebijakan Pemerintah di tengah wabah corona. Untuk lebih jernih menilai kritik tersebut kita harus kembali ke pertanyaan dasar Kenapa kritik itu dilakukan? Misalnya dalam persoalan pengelolaan anggaran covid 19, kenapa publik terkesan begitu curiga dengan pemerintah? Ini semua tidak terlepas dari tertutupnya pengelolaan anggaran tersebut, pemerintah sama sekali tidak transparan, semisal mengumumkan ke publik melalui website yang memungkinkan publik mengakses dengan mudah untuk mengetahui dari mana saja anggaran itu diambil? berapa banyak anggaran yang dipersiapkan? Program apa saja yang akan dijalankan? Siapa saja penerima manfaat atau sasaran dari progam yang dijalankan? Siapa-siapa saja yang terlibat? Nah ini semua adalah ruang gelap yang memicu rasa saling curiga, saling tidak percaya sehingga pada akhirnya memicu komplain, protes, kritik bahkan ancaman untuk menurunkan kepala daerah dari singgasana kekuasaan.
Belum lagi ternyata setelah publik mendapatkan sedikit data dan informasi terkait penelolaan anggaran tersebut dengan begitu kentara tercium aroma busuk semisal indikasi adanya mark up harga barang tertentu, pemborosan dan ketidak efektifan dan ketidak efesienan penggunaan anggaran publik yang menyalahi prinsip pengelolaan anggaran publik itu sendiri. Hal inilah yang kemudian memicuk reaksi publik yang kemudian terkesan bar-bar bin anarkis yang memancing sebagian fihak sampai menulis opini panjang lebar dengan judul “Rakyat deuk-deuk troe, Pemerintah Foya-Foya”.
Kritik itu adalah signal bahwa publik tidak puas dengan kinerja pemerintah.
Nah jika saja publik merasa puas dengan kinerja pemerintah tentunya reaksi yang akan didapatkan pemerintah dari publik akan lebih adem, lebih menyejukkan yang sangat mungkin pemerintah akan menerima berupa rupa apresiasi, ucapan terima kasih, puja puji layaknya seorang gadis yang digombal oleh seorang pria yang sangat mengidamkannya, atau bahkan dalam bentuk ucapan terima kasih yang lebih kongkrit bisa mengkristal dalam bentuk dukungan publik untuk mendukung pemerintahan hingga terpilih lagi di periode selanjutnya karena publik merasa puas dengan kinerja yang telah ditunjukkan rezim selama berkuasa sebagimana yang selalu kita dengar dari orang-orang dekat penguasa yang dengan segenap fasilitas yang dimiliknya tiap hari melakukan pembelaan atau mengcounter critik yang dilemparkan publik.
Sampai di sini jelaslah bagi kita bahwa sejatinya upaya publik untuk mengkritisi pemerintah adalah respon yang mereka berikan atas buruknya kinerja pemerintah setidaknya menurut penilaian mereka pemerintah belum bekerja layaknya yang mereka harapkan. Rezim dan orang-orang dekatnya tidak seharusnya menilai kritik publik sebagai bentuk kebencian pada Rezim maupun orang dekatnya, bagi publik mengkritisi kekurangan rezim adalah upaya untuk menunjukkan bahwa rezim harus sadar bahwa kinerja mereka belum membanggakan, pajak yang telah mereka penuhi sebagai bentuk kewajiban belum terbalaskan dengan pelayanan yang optimal dari orang-orang yang telah dimandatkan untuk mengurus pemerintahan yang seharusnya bekerja untuk menfasilitasi rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan melalui kebijakan-kebijakan progressifnya, bukan malah tiap hari melakukan blunder yang membuat publik semakin tidak percaya pada pemerintah.
Akhirnya kita berharap, jika memang publik belum berhenti melakukan kritik demi kritik maka pemerintah dan orang dekatnya harus melihat itu sebagai bentuk perhatian publik agar pemerintah melakukan sesuatu yang lebih baik dari yang pernah dan sedang dilakukan dan tidak lagi mengulang kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya, sehingga pada akhirnya pemerintah bisa bekerja lebih optimal dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat dan akhirnya kritik secara perlahan akan berkurang dan berganti menjadi pujian dan ucapan terima kasih dari tuan untuk pelayannya. Karena sesungguhnya cara paling elegan bagi pemerintah untuk menjawab kritikan adalah dengan memperbaiki kinerjanya sehingga orang yang dulunya mengkritis mereka akan berbalik memuji dan mendukung setiap kebijakan yang dilahirkannya.
Oleh : Lukman
Aktivis FRONTAL Aceh
Komentar