Catatan 4 Desember: Bendera Aceh, Robek sebelum Berkibar

Nanggroe.net, Banda Aceh | Bendera merupakan simbol, sebagai simbol maka penafisrannya pun beragam bisa mewakili identitas, semangat perlawanan – pemberontakan, pesan ketidakadilan, atau martabat bahkan simbol kedaulatan. Bendera Aceh secara jelas diatur dalam Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh dan Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Bendera sebagai simbol bukan hanya permainan grafis dan warna semata ia adalah hasil telaah historis dan filosofis yang tujuannya untuk membangkitkan patriotisme dan nasionalisme rakyat.

Kemudian secara materil Qanun Bendera Aceh dipertentangkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Singkat cerita, akhirnya Tjahyo Kumulo Mendagri (tahun 2016) mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 188.34-4791 tahun 2016, tertanggal 12 Mei 2016 tentang pembatalan beberapa ketentuan dari Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, alasannya karena Qanun tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum.

Secara normatif Pemerintah Pusat memang diberikan kewenangan untuk membatalkan qanun atau peraturan daerah hal ini sesuai dengan peraturan lama (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) maupun peraturan baru, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah mengawasi perda, baik ketika masih bentuk rancangan maupun sesudah disahkan, “Pasal 251 ayat 1 Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri”. Maka secara hukum, gagal rencana rakyat Aceh untuk mengibarkan bendera di tiang yang lebih rendah itu.

Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah menjadi alasan yuridis sehingga Qanun Bendera dan Lambang Aceh tidak bisa diberlakukan. Kita sudah maklum bahwa hal ini dikarenakan Bendera Aceh menggunakan gambar bendera Gerakan Aceh Merdeka sehingga dalam asumsi pusat, apabila gambar itu digunakan sebagai bendera Aceh, patut diduga ide pemberontakan dan pemisahan belum selesai dan masih bersemayam dalam tulang sumsum rakyat Aceh, sehingga lambat laun akan mengakibatkan disintegrasi Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Sebagai jalan tengah muncul opsi-opsi untuk mengganti dengan gambar lain yang penting bukan bulan bintang dengan garis hitam.

Tasfir semiotik pusat (semiotik adalah teori tentang pemberian ‘tanda’ wikipedia, 2007) terhadap bendera Aceh dicampuri dengan isu separatisme bukan tanpa alasan. Identitas dan Kedaulatan memerlukan simbol dan bendera adalah simbol utama untuk mewakili itu, bendera adalah representasi dari ikatan sejarah, ideologi, budaya, politik dan teritori. Dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, “bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Bendera sebagai simbol bukan hanya permainan grafis dan warna semata ia adalah hasil telaah historis dan filosofis yang tujuannya untuk membangkitkan patriotisme dan nasionalisme rakyat. Dalam konteks bendera Aceh, pusat curiga bahwa bulan bintang dengan garis hitam akan melahirkan semangat perlawanan dan pemberontakan Aceh kepada Jakarta.

Disisi lain apa yang menguatkan kecurigaan pusat terhadap agenda tersembunyi lahirnya qanun bendera dan lambang Aceh tersebut, bahwa pengibaran bendera selalu mencuat pada momentum hari-hari besar Gerakan Aceh Merdeka, misalnya 4 Desember dan 15 Agustus, tanggal tersebut menjadi sangat magis karena dua tanggal itu lekat dengan romantisme sejarah pemberontakan GAM. Apakah pusat percaya dengan wacana bahwa ide pemberontakan dan pemisahan sudah hilang atau pupus setelah MoU Helsinki ditanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005? Melihat Pembatalan Qanun bendera dan lambang Aceh, maka secara politik, pusat belum percaya kepada Aceh dan Aceh harus terus menerus berada dalam panti rehab, rehabilitasi terkait wawasan nusantara dan nasionalisme ke-indonesia-an.

Konon lagi kalau kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat Pemerintah Indonesia pada masa orba terbongkar dan mengundang perhatian dunia Internasional, secara diplomatik akan sangat merepotkan posisi Indonesia di mata intersional. Meskipun bukan itu tujuan pembongkaran kejahatan HAM di masa lalu tapi tentu saja hitungan pusat pasti lebih rigit dan pusat akan lebih berhati-hati terhadap isu ini. Pusat masih bisa melokalisir isu Bendera Aceh menjadi isu dalam negeri tapi tidak untuk isu HAM dimasa pemberlakuan Daerah Operasi Militer atau kejahatan kemanusiaan Pemerintah Indonesia pasca operasi jaring merah selesai diberlakukan di bumi Aceh. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi organisasi, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga pemerintah yang masih concern tentang isu HAM.

Apakah Persoalan pembatalan qanun bendera dan lambang Aceh mutlak persoalan hukum? atau konflik regulasi antara peraturan yang lebih rendah dan peraturan yang lebih tinggi? atau lebih ke soal bagaimana menutup celah seperatisme tumbuh berkembang di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh salah satu celah itu?

Penulis : Muhammad Yulfan, S.H ( Advokat).

Komentar

News Feed