Penebang Kayu Hutan Belantara, Gunung Geureudoeng

Sejak berapa lama hutan yang mereka masuki terasa semakin sunyi saja. Ketika mula-mula mereka tiba di pinggir hutan, mereka masih mendengar bunyi Orang Utan menghimbau-himbau, disela oleh bunyi berbagai burung.

Mereka pun dapat melihat Orang Utan berlompatan dari pohon ke pohon dengan amat tangkasnya. Seakan dahan dan ranting pohon bagi Orang Utan tak ubahnya seperti jalan yang diaspal saja. Bukan main pula secepatnya mereka dapat bergerak dari pohon ke pohon. Dalam sekejap mata rasanya kumpulan Orang Utan telah menghilang dalam kehijauan hutan.

Kini mereka telah jauh memasuki hutan belantara yang dinamakan rakyat setempat Gunung Geureudoeng di pergunungan Bukit Barisan di daerah ujung pulau sumatera. Gunung Geureudoeng ini luas benar. Diberi nama demikian oleh orang yang bermukim di kampung-kampung dekatnya, sungai yang mengalir di dalam rimba Gunung Geureudoeng penuh dengan batu-batuan. Seluruh daerah rimba Gunung Geureudoeng ditutupi oleh hutan belantara yang lebat. Segelintir kelompok kerap memasuki hutan belantara itu. Seketika mereka tiba di desa terakhir dekat dengan rimba Gunung Geureudoeng, Paman, sebut saja namanya syukri, yang memimpin rombongan kecil mereka, telah mencoba mencari seorang penunjuk jalan, agar ikut mereka masuk ke dalam hutan. Tetapi tak seorang pun juga yang mau ikut.

“Masa tak ada perimba yang berpengalaman di desa ini?” tanya Paman Syukri, “Penebang kayu, pemburu Orang Utan?”
“Tidak ada disini,” sahut kepala kampung, “karena mereka tak mau pergi untuk, Menebang Kayu ke Gunung Geureudoeng.
Orang di sini juga tak ada yang berburu Orang Utan atau margasatwa lainnya ke rimba Gunung Geureudoeng.”

“Aaiii, mengapa?” tanya mereka serempak, heran.
Kepala kampung kelihatan agak ragu-ragu menjawab. Kemudian dengan suara yang direndahkannya, dia berkata, “Sebaiknya bapak dan anak-anak muda ini janganlah ke sana. Kalau mau pergi ke hutan, pergilah ke hutan yang lain. Orang di sini tak ada yang mau pergi untuk menebang kayu hutan, itu juga rimba sakti. Dihuni pula oleh orang bunian, orang halus yang dapat menghilang, dan tak kelihatan oleh manusia. Dahulu banyak sudah anak-anak kampung yang pergi ke hutan, hilang tak pernah pulang lagi, untuk selama-lamanya.”

Sekali mulai bercerita, maka kepala kampung jadi lancar membuka rahasia mistis di Gunung Geureudoeng. Selain dari orang bunian, katanya dalam hutam ada pula setan jahat. Cukup banyak perimba yang memberanikan diri menebang kayu di pinggir rimba mencium bau bangkai atau mayat yang amat busuk. Mereka tak tahan sampai muntah-muntah dan lari pulang ke kampung. Tetapi tidak seorang juga yang berani pergi memeriksa.

Dirimba Gunung Geureudoeng juga amat banyak binatang liar yang ganas, kata kepala kampung. Di antara binatang buas yang ditakuti umpamanya ada ular besar. Aduh, besarnya sebesar pohon kelapa, dan panjangnya juga sama dengan pohon kelapa. Selain itu juga ada harimau, macan tutul, harimau kumbang yang hitam, beruang dan gajah. Juga banyak Orang Utan yang berbulu merah kecokelatan, besarnya seperti orang saja.

Kepala kampung tak berani menyebut harimau dengan kata harimau. Dia selalu mengatakan harimau memakai kata “nenek” atau “datuk”.
“Jangan, janganlah ke rimba Gunung Geureudoeng,” kepala kampung memberi nasehat pada mereka, “sangat berbahaya. Nanti celaka kalian semua.” Mereka saling berpandangan, dan kemudian memandang pada Paman Syukri. Paman Syukri kelihatan hanya tersenyum kecil.

Karena Paman Syukri yakin, bahwa bagaimana juga dia akan membujuk mereka, tak seorang juga perimba, penebang kayu atau pemburu di kampung-kampung dekat rimba Gunung Geureudoeng yang mau ikut dengan mereka, maka Paman memutuskan untuk terus saja berangkat.
“Jangan ke rimba Gunung Geureudoeng pak!” Kepala kampung masih berseru pada mereka ketika mereka meneruskan perjalanan menuju rimba Gunung Geureudoeng.

Segelintir Kelompok Penebang Kayu

Paman Syukri dan kelompok kecilnya, adalah suatu kelompok ahli yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan, mereka rata-rata lulusan salah sagu kampus terbaik di indonesia. Mereka telah pula belajar beberapa tahun di luar negeri untuk meluaskan ilmunya. Sejak berapa tahun terakhir mereka berusaha di bidang mebel bersama kelompok kecil lainnya, ada enam puluh kilo meter jauhnya dari kawasan rimba Gunung Geureudoeng. Kabupaten mereka sebuah kota kecil, bernama lhokseukon dan juga kota lhokseumawe, di tengah sebuah pertanian dan perkebunan yang berbukit-bukit, juga pesisir selat malaka di lepas pantai sebelahnya. Sekelompok kecil tapi besar itu, selain berusaha mebel mereka juga ikut terlibat di berapa partai politik Elektoral sebagai pemenang pilkada dan pemilihan legislatif. Indonesia terus menerus, ada saja oknum penebang kayu hutan di setiap daerah, mereka tidak pernah peduli dengan nasib rakyat ketika banjir melanda daerah?” Apa lagi margasatwanya.”

Anak muda yang ikut dengan Paman Syukri adalah bob, berumur 27 tahun, seorang alumni tamatan kampus ternama. Kawannya bram, sebaya dan sekampus dengan dia. Bram namanya Braman, orang tuanya berasal dari sumatera, tetapi dia lahir di Aceh Utara. Kemudian seorang muda remaja, Ayang (berasal dari kata “sayang”, panggilannya di rumah, dan akhirnya juga di setiap pergaulannya), adalah adik Paman Syukri. Mukanya ganteng, apa lagi kalau dia sedang tersenyum. Dua anak lelaki yang lain adalah adnan dan pentil. Mereka semua satu kampus. Si pentil namanya sebenarnya abdullah, tetapi karena badannya yang kecil, dan akhirnya nama aslinya kalah, dan penuh ketangkasan.

Berapa kelompok kecil lainnya, mereka menunggu jatah atau menerima perintah penjemputan kayu yang telah di tebang oleh penebang kayu kelompok lainnya. Mereka berkerja sama dengan baik tapi penjualannya dengan jarak yang cukup terjangkau. “Agar pembeli kayunya mudah kita dapat?” Sahut salah satu di antara kelompok lainnya. Supaya enak kita bayar oknum pengamanannya,” tambah sekelompok lainnya.

Pak Lurah & Margasatwa Punah

Tak lama setelah meninggalkan kampung Pak lurah dengan cerita-ceritanya yang menakutkan itu, mereka tiba di daerah penuh bukit-bukit yang hanya ditumbuhi lalang yang tinggi, setinggi badan manusia. Bukit-bukit yang di belakang lebih tinggi lagi dari bukit sebelumnya. Mereka mengikuti sebuah jalan kecil hampir-hampir tak kelihatan yang seperti ular berkelok-kelok naik turun bukit. Hari masih pagi ketika mereka meninggalkan kampung terakhir , dan matahari bersinar terik ketika mereka masih menyebrangi, menurun dan mendaki bukit-bukit penuh lalang. Tiap lima belas menit mereka berhenti sebentar, mengatur pernafasan, sambil melontarkan pandangan jauh ke bawah. Sambil melihat ke bawah, puncak-puncaknya hilang dalam selimut awan putih bergumpal-gumpal.

“Aduh, alangkah bagusnya pemandangan!” seru bob, merentangkan tangannya, seakan ingin memeluk lembah, sungai dan gunung. “Kamu mau buru satwa atau tinggal di sini!” Sahut Paman Syukri dengan nada tinggi.
Itu berapa jam yang lalu, kini mereka telah 9 jam memasuki rimba Gunung Geureudoeng. Mereka telah meninggalkan bukit-bukit lalang yang penuh cahaya matahari terik , menyilaukan mata dengan daun-daun lalang yang tajam dan kering berkeresekan mencoba menyayat kulit mereka. Ini adalah pemburuan margasatwa untuk yang ke sekian kalinya di hutan belantara ini. Sebenarnya bob, baru pertama kali mengikuti Paman Syukri, bob pun heran. “Bagaimana Paman Syukri tega-teganya ia menebang pohon dan memburu margasatwa di hutan ini”. Aah, sudahlah. Ini yang pertama kalinya aku pergi dan terakhir,” bob berbicara dengan relung hati kecilnya.

Banjir Bandang Aceh Utara, Meredam Kota Lhokseumawe

Matangkuli, salah satu kecamatan di aceh utara yang menjadi target amukan air sungai yang meluap ke permukaan. Pernah, banjir bandang sewaktu ketika pada tanggal delapan belas, bulan sebelas tahun 2018 lalu, rumah hanyut hingga ribuan warga mengungsi. Banjir setinggi kurang lebih empat-lima meter tersebut, juga menghanyutkan rumah warga yang berada di kecamatan Syamtalira Aron, dan Kecamatan Samudera.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), ada empat kecamatan yang menjadi langganan rutin banjir bandang di Kabupaten Aceh Utara. Sementara itu, sebulan lalu, banjir juga melanda Kecamatan Geureudoeng pase. Banjir juga meredam Kecamatan Tanah luas, Pirak Timu dan Lhokseukon, sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Utara. Hingga Kecamatan blang mangat di Kota Lhokseumawe.
Tak ubahnya, seperti pohon kayu yang sebenarnya. Setiap saat mereka menebangnya, katanya memang di tunggangi oleh oknum pejabat dan oknum pengamanan, pengusaha lokal dan luar negeri. “Tak terbayangkan, sungguh mereka kejam dan sangat menakutkan!” dalam hati bob, sambil berjalan kemudian mereka sampai pada barak tujuan.

Oleh : Fakhrurrazi – Direktur Aktivis Millenial Aceh

Komentar