Nanggroe.net, Jakarta |Anda mungkin masih ingat dengan buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Mereka mengatakan bahwa tidak semua pemimpin terpilih tadi memiliki track record represif dan otoriter. Memang ada yang sejak awal tampak otoriter seperti Hitler dan Chávez. Tapi banyak juga yang awalnya berwajah POLOS dan LUGU, pelan tapi pasti lalu menjadi otoriter setelah memimpin dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Segala cara akan dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan oligarkisnya, termasuk menggunakan instrumen HUKUM sbg alat untuk MELEGITIMASI seluruh tindakan politik, salah atau pun benar. Demokratis ataukah Otoriter, tidak penting lagi.
Indikator Kepemimpinan Otoriter
Steven dan Daniel memberikan daftar pertanyaan sekaligus sebagai indikator apakah sebuah sistem kepemimpinan itu otoriter ataukah demokratis.
Baca Juga : Polres Lhokseumawe Bersama Tim Gabungan Tertibkan Pedagang Mercon Menjelang Pergantian Tahun Baru
Ada empat indikator otoritarianisme yang disebut dengan “Four Key Indicators of Authoritarian Behavior”. Untuk mengetes indikator otoritatianisme itu digunakan “litmus test” (p. 23-24). Salah satu dari Keempat indikator itu adalah:
Reject of (or weak commitment to) democratic rule of the game (Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi).
Parameternya:
(1) Apakah mereka suka mengubah-ubah UU?
(2) Apakah mereka melarang organisasi tertentu?
(3) Apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara?
Terkait dengan isu MASA JABATAN PRESIDEN 3 PERIODE, maka paramater yg dipakai untuk membuktikan bahwa suatu rezim OTORITER atau DEMOKRATIS adalah: APAKAH REZIM SUKA MENGUBAH UU demi melanggengkan kekuasaannya atau tidak?
Masa jabatan Presiden mengalami perkembangan sbb:
- Sesuai dgn UUD 1945 asli: Pasal 7: Presiden memegang kekuasaan selama 5 tahun dan SESUDAHNYA dapat dipilih kembali.
- Penyimpangan praktik pada masa Orde Lama: SEUMUR HIDUP dengan TAP MPRS No. III/MPRS/1963.
- Pelaksanaan konktekstual di ORBA: kata dan SESUDAHNYA DAPAT ditafsirkan TANPA BATAS, hingga 32 tahun masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
- Pembatasan 2 kali di masa Reformasi dengan Amandemen UUD 1945.
- Wacana 3 kali periode, atas dasar kegentingan apa selain kemauan untuk kembali mundur pada prinsip PELANGGENGAN KEKUASAAN?
Sebagaimana beredar di media sosial, wacana jabatan 3 periode ini kembali jadi hangat setelah M. Qodari (Dir. Indo Barometer) mengangkatnya. Hal itu dikemukakannya dalam sebuah diskusi menyikapi dinamika politik pasca helatan pilkada 2020. Tak heran jika kemudian publik menduga bahwa Wacana Jokowi hattrick sebagai presiden ini, sudah mendapat sambutan dari pihak senayan juga lembaga survei.
Di sisi lain pihak istana tak setuju wacana itu dengan bukti melalui jubirnya Fajroel Rachman yang menyatakan bahwa Presiden Jokowi memegang teguh UUD 1945 (Pasal 9) yang membatasi memegang jabatan presiden selama dua periode (Pasal 7). Sebagaimana dalam Twitternya, @fadjroeL, Minggu (20/12/2020). Benarkah Presiden Jokowi menolak wacana ini, ataukah wacana itu hanya diarahkah untuk penyelamatan kekuasaan kroni oligarkisnya?
Dari sisi konstitusional, mestinya tidak mungkin Presiden Jokowi memegang jabatan 3 periode karena jabatan yang sekarang diemban didasarkan pada REZIM ATURAN yang membatasi masa jabatan paling lama 2 periode sejak Presiden Jokowi menjabat periode pertama tahun 2014. Dalam prinsip hukum modern (Marc Galanter) hukum itu tidak boleh berlaku SURUT (retroaktif). Jika UUD 1945 sekarang DIAMANDEMEN, maka amandemen itu tidak boleh berlaku untuk masa jabatan presiden sebelum amandemen, melainkan untuk PEMILU PRESIDEN yang akan datang (2024). Jadi, dari sisi hukum konstitusi TIDAK MUNGKIN JOKOWI memegang jabatan untuk periode ketiga tahun 2024 dalam jabatan yang sama. Bisa, kalau Jokowi menduduki jabatan sebagai WAKIL PRESIDEN. Hal itu terjadi jika memang kita membaca UUD hanya dari sisi teks, bukan dari sisi moral (moral reading on constitusion).
Baca Juga : Sepanjang 2020, Polres Lhokseumawe Pecat Lima Personil Kepolisian Terkait Kasus Narkoba
Berdasar moral reading on constitution, para pendiri bangsa ini sebenarnya telah mengajarkan agar menempatkan SEMANGAT PENYELENGGARA NEGARA diutamakan dalam kehidupan negara sehingga visi dan misi negara ini dapat diwujudkan. Sebaik apa pun aturan, termasuk UUD 1945 namun jika SEMANGAT PENYELENGGARA ini tidak baik, otoriter, tidak demokratis dan mementingkan kepentingan diri serta kompoknya, maka aturan yang sempurna itu tidak berarti apa pun.
Periode singkat atau panjang sebuah masa jabatan sebenarnya tidak penting selama negeri ini punya miles stone, punya roadmap, punya haluan negara sehingga siapa pun pemimpinnnya berapa lama pun masa jabatan memimpin negara itu tidak menjadi persolan karena ROAD MAP-nya JELAS. Siapa pun presidennya harus mematuhi roadmap atau haluan negara yang sudah ditetapkan. Jadi, buat apa masa jabatan diubah dari 2 periode menjadi 3 periode jika hanya ingin melanggengkan kekuasaan yang terindikasi otoriter namun tidak patuh pada road map atau haluan negara? Ingat, karakter otoritarianisme justru akan membunuh demokrasi itu sendiri. Boleh jadi mungkin kita masih membicarakan mantra-mantra demokrasi, namun sesungguhnya kita telah terjerumus ke dalam kubangan rezim tiran yang merusak (tyran-okhlokrasi).
Penulis adalah Prof. Suteki Guru besar Filsafat Pancasila Universitas Diponegoro
Komentar