Nanggroe.net | Suku Tamiang adalah salah satu suku yang terdapat di Provinsi Aceh. Daerah pemekaran dari Aceh Timur pada tahun 2002 ini terletak di perbatasan antara Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh. Secara mayoritas, penduduk ibukota kabupaten Aceh Tamiang di Kuala Simpang ini bersuku Jawa. Namun, di beberapa kecamatan dihuni kebanyakan oleh orang Tamiang. Makanan khas suku Tamiang yaitu bubur pedas, kue rasyidah, timpan, rujak aceh dan makanan lainnya.
Suku Tamiang merupakan suku yang sangat menjunjung nilai persaudaraan dan permusyawaratan. Budaya Tamiang adalah kombinasi, kolaborasi, akulturasi antara budaya Melayu dengan budaya Aceh yang melahirkan budaya Melayu Tamiang (Aceh Tamiang). Tradisi yang terdapat di Aceh Tamiang yaitu berbalas pantun dalam adat pernikahan dengan seni bertutur yang indah namun tak mudah.
Bagi masayarakat Aceh Tamiang, tradisi berbalas pantun sudah ada sejak dahulu dan sudah menjadi tradisi yang turun-temurun. Hal ini ada karna kebiasaan masyarakat Aceh Tamiang yang gemar bertutur. Adapun tradisi berbalas pantun ini sebagai cara lain dalam berkomunikasi untuk menyampaikan maksud, pesan atau nasihat kepada orang lain dengan cara yang penuh seni. Dengan adanya tradisi berbalas pantun ini membuktikan bahwa masyarakat Aceh Tamiang memiliki seni bertutur yang tinggi.
Tradisi berbalas pantun aceh tamiang juga sudah menjadi tontonan yang menarik. Karna hanya dalam waktu sepersekian detik seseorang harus mampu merangkai kata, beserta rimanya, untuk menjadikan sebuah pantun balasan yang menarik. Biasanya, tradisi berbalas pantun Aceh Tamiang ini, selalu ditampilkan pada acara-acara adat seperti menyambut tamu, melamar dan pernikahan.
Berbalas pantun ini adalah cara berkomunikasi dengan menanyakan maksud dari kedatangan tamu yang disampaikan dengan cara yang menarik. Dan sebagai pendatang juga harus siap untuk membalas segala pantun yang disampaikan oleh tuan rumah tersebut.
Biasanya juga dalam berbalas pantun ini minimal ada dua orang untuk saling berbalas pantun. Sedangkan untuk waktu durasinya itu bisa sampai satu jam atau lebih, tergantung pada kelancaran si pemberi pantun dan penjawab pantun. Dalam berbalas pantun ini bukanlah hal yang mudah. Butuh kecerdasan tersendiri untuk merangkai kata menjadi sebait pantun. Apalagi harus membalas pantun dalam durasi waktu yang panjang. Apabila si penjawab pantun tidak bisa membalas pantun yang diberikan oleh pemberi pantun maka dianggap kalah.
Hal ini jugalah yang menarik bagi penonton untuk melihat pemenang dan yang kalah dari berbalas pantun ini.Adapun isi pantun yang terkandung dalam tradisi berbalas pantun Aceh Tamiang cukup beragam. Diantaranya pantun pemuda, pantun pergaulan, pantun teka-teki dan pantun jenaka. Hingga sekarang, masyarakat tidak ingin menghilangkan kebudayaan ini. Berbalas Pantun disetiap pernikahan yang dilakukan dirumah maupun digedung, akan memanggil ketua adat dan mengurusi hal tersebut.
Untuk hal ini sebaiknya anak muda juga ikut berperan dalam terus melestarikan kebudayaan berbalas pantun ini. Agar kebudayaan Aceh Tamiang tidak hilang dan terus dikembangkan, karena tradisi ini juga sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Aceh Tamiang.
Sedikit contoh pantun orang Tamiang, misalnya pantun dari Wak Alang dan Wak Ngah ini:
Ke Penang sudah
Ke Keudah sudah
Hendak menangkap si unggas Merbuk
Berpinang sudah
Menikah Sudah
Kenape kami pada tak diizinkan masuk?
Lalu dijawab:
Bukan ditenun selembar kain
Namun disulam selendang mayang
Bukanlah kami menghalangi pengantin
Memang begini adat Tamiang.
Begitulah tradisi berbalas pantun Aceh Tamiang, bermakna dan menghibur. Sebagai orang asli Aceh Tamiang tentu saja harus berbangga dengan budaya yang dimiliki, karena budaya yang dimiliki mempunyai nilai seni yang tinggi. Tradisi ini harus terjaga, karena merupakan budaya yang sangat bernilai.
Agar tidak hilang ditelan zaman, sebaiknya para pemuda Tamiang harus mempelajari seni budaya berbalas pantun ini. Untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya. Karena budaya ini harus terus berlanjut sebagai warisan untuk generasi Aceh Tamiang selanjutnya.
Seperti halnya salah satu sanggar yang ada di Aceh Tamiang dengan nama Sanggar Seni Rampai Tamiang merupakan sanggar seni yang mengajarkan tentang budaya Tamiang itu sendiri. Sanggar seni Rampai Tamiang terus bergerak keseluruh pelosok kampung di Aceh Tamiang untuk melestarikan adat budaya leluhur sebagai identitas kedaerahan.
Sehingga Kabupaten Aceh Tamiang dikenal diseluruh pelosok nusantara bahwa satu-satunya suku Melayu Tamiang di Provinsi Aceh adalah di tanah Aceh Tamiang. Melihat eksistensi dari tradisi berbalas pantun ini sudah meluas sampai ke berbagai pelosok nusantara, semoga saja keberadaan tradisi berbalas pantun ini tetap terlestarikan dan dapat terus dikenal diseluruh penjuru hingga luar negri sehingga semakin mengharumkan nama daerah besarnya yaitu Aceh Tamiang.
Penulis : Kiki Silvana, Mahasiswa Program Studi Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. IAIN Langsa
Komentar