Polemik Qanun Jinayat VS UUPA 17 Tahun 2016, Predator Anak Aceh Barat Semakin Bringas dan Cadas

Nanggroe.net, Aceh Besar | Kekerasan pada anak hingga kini masih saja terus terjadi di Serambi Makkah tercinta kita terutama di Bumoe Teuku Umar (sebutan daerah Aceh Barat). Bahkan jumlahnya cenderung kian melesat. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan (secara fisik, emosional, verbal, dan seksual), penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, baik yang berlangsung secara disadari maupun yang tanpa disadari, menyedihkan sekaligus mencengangkan ialah kenyataan bahwa kekerasan terhadap anak justru paling banyak terjadi di wilayah domestik alias pelakunya tak lain anggota keluarga terdekat, terutama orangtuanya.

Tercatat ada 15 kasus kekerasan terhadap anak di Aceh Barat pada triwulan I dan II, serta diantaranya ada 3 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh Barat(sumber : dinaspppa.acehprov.go.id).

Kemudian terdapat 1 kasus Rudapaksa penculikan serta pengancaman terbaru yang terjadi pada 26 Agustus 2021, menimpa seorang anak perempuan yang berumur 14 tahun masih duduk dibangku sekolah kelas 1 SMP Aceh Barat korban Rudapaksa yang diculik menggunakan senjata tajam (pisau) dan dibawa lari dari sebuah warung didekat kediaman rumahnya saat membeli suatu barang, dilarikan menuju Kabupaten Aceh Timur menggunakan angkutan umum via Banda Aceh dan dilecehkan secara paksa dikediaman sanak family Pelaku tersebut, disana bunga diperlakukan layaknya pemuas nafsu si pelaku yang beringas yang bahkan keluarga pelaku mendukung bahkan memaksa korban untuk menikah setelah 3 kali melakukan hubungan badan.

Sejauh ini penulis melihat perkembangan kasus dimana ada ketidakberasan baik pendampingan terhadap pemulihan psikis ataupun trauma yang dialami korban serta proses hukum yang kian berbelit.

Hingga saat ini korban belum mendapatkan pendampingan dari Dinas terkait (DP3AKB Aceh Barat) yang bertanggung jawab terhadap pemulihan trauma dan psikis sikorban bahkan pskilog yang disediakan oleh dinas tersebut tidak layak dianggap psikolog dikarenakan sikapnya yang arogan dan tidak humanis layaknya seperti PSIKOPAT.

Saat ini kasus sudah dilimpahkan ke Polres Aceh Barat dan Polda Aceh dimana Polres Aceh Barat menangani kasus terkait dengan penculikan bukan soal pelecahan seksual dengan alasan TKP kasus RUDAPAKSA terjadi bukan wilayah hukum polres Aceh Barat dimana penulis menilai semestinya bisa saja dengan jalur kordinasi antara polres Aceh Barat dan Aceh Timur.

Belum lagi diawal kasus ini dilaporkan dan diterima pada (28/8/2021) melalui surat No. LP/73/VIII/2021/SPKT/Res Abar/Aceh, terjadi beberapa permasalahan dimana diawal kasus terjadi dan diterima pada 30 Agustus 2021, kasus tersebut dianggap sebagai kasus KDRT bahkan surat tersebut tidak memiliki cap kepolisian melalui surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan No.B/93/VIII/2021/Reskrim, diamana lucunya pihak kepolisian berasalan salah ketik, dan penulis melihat ini sebagai mal administrasi yang terjadi di instansi tersebut.

Maka dari kejadian tersebut mahasiswa berinisiatif membawa korban dan ayah korban untuk melapor ke Polda Aceh (29/10/2021) yang didampingi oleh LBH Banda Aceh untuk melaporkan kasus tersebut yang telah diterima laporannya melalui surat No. LP/209/X/2021/SPKT/POLDA ACEH.

Sejauh ini ayah, korban dan Rona Julianda telah dimintai keterangan sebagai saksi untuk melengkapi berkas untuk ketahap penyelidikan.

Perkembangan terbaru kasus saat ini telah sampai ketahap penyedilikan melalui surat perintah penyidikan No. Sp.sidik/192.a/XI/Res.1.4./2021/Disreskrimum, dimana pasal yang disanksikan kepada terduga pelaku yaitu tindak pidana/jarimah pemerkosaaan terhadap anak sebagaimana tercantum pada pasal 50 Qanun aceh No. 6 tahun 2014, dengan ancaman hukuman cambuk 150-200 atau denda 1500 – 2000 gr emas murni, dan atau hukuman penjara 150-200 bulan.

Usai surat perintah penyidikan yang keluar pada 15 November lalu, kini timbul polemik baru dimana ketidak percayaan publik terhadap qanun tersebut kian mencuat dikalangan masyarakat terlebih mahasiswa di Universitas Teuku Umar (UTU), bagaimana tidak melalui kajian yang telah dilaksanakan oleh mahasiswa UTU menganggap Qanun Jinayat tersebut lemah terlebih pada pasal 47 dan 50.

Berdasarkan hasil kajian tersebut mahasiswa UTU sepakat untuk 2 pasal tersebut (47 dan 50) dihapuskan dikarenakan masih dianggap lemah. Pasal tersebut dianggap lemah dikarenakan hukuman atau sanksi pidana yang rendah berbanding jauh dari UU No. 35 Tahun 2014 bahkan UU N0.17 Tahun 2016 dimana hukuman terberatnya yaitu kebiri kimia, hukuman penjara seumur hidup bahkan hukuman mati, belum lagi putusan hakim Mahkamah Syariah yang selalu merugikan korban saat putusan, bagaimana tidak apabila pelaku hanya dijatuhi hukuman cambuk maka setelah pelaku dicambuk pelaku bebas berkeliaran bahkan berpotensi berjumpa kembali dengan korban sehingga rasa trauma korban kembali bahkan berpotensi melakukannya hal sebelumnya kembali. Serta, qanun tersebut tidak menjamin pemulihan dan perlindungan terhadap korban.

Berbeda dengan UUPA No. 17 tahun 2016 dimana undang-undang ini tidak hanya berbicara soal pidana kekerasan seksual terhadap anak tetapi pencegahan, perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban.
Maka dari hal diatas penulis menganggap UUPA No.17 tahun 2016 lebih tepat digunakan dalam penanganan kasus korban kekerasan seksual terhadap anak di Aceh Barat dengan beberapa alasan.

Seperti sanksi yang diatur didalam qanun jinayat lebih ringan dari UUPA, dan hak korban untuk mendapat pendampingan terhadap pemulihan mental atau rehabilitasi kepada korban lebih terjamin. Serta penulis juga melihat didalam UUPA No 17 tahun 2016 pada pasal 81 (ayat 5 dan 7).

Dimana pada ayat tersebut dijelaskan menganai ancaman pidana hukuman mati, seumur hidup atau hukuman penjara paling singkat 10 tahun dan atau paling lama 20 tahun, dikarenakan korban kini mendapat trauma dan guncangan mental, selaput dara yang telah robek serta mendapat tindakan kekerasan fisik yang didapat saat dipaksa melakukan hubungan badan (pasal 81, ayat 5), pada pasal 81 (ayat 7) juga dijelaskan pelaku yang dimaksud pada ayat (4 dan 5) dikenakan hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Oleh : Mullah Oges Cabucci, Mahasiswa FISIP Universitas Teuku Umar

Komentar