Polemik Anggaran Covid-19, Lage Ta’eun

POLEMIK penetapan zona merah di Aceh usai berstatus hijau di tingkat nasional diduga erat kaitannya dengan “Politik Anggaran”. Juga pemberitaan tentang “Leumoe Pijuet” di sejumlah media massa di UPTD Peternakan Saree ada kaitannya dengan upaya Framing atau mengajukan sebuah peristiwa pada ruang publik, sehingga mereka melupakan penggunaan anggaran APBA Untuk penanganan Covid-19, yang jumlahnya cukup signifikan dari pada jumlah Anggaran sapi yang terbengkalai di UPTD Saree yakni RP 650 miliar.

Pada debat Pilkada Gubernur Aceh 2017 lalu. Irwandi Yusuf, sempat menyinggung soal anggaran yang jumlahnya demikian, tapi tidak ada Responsif dari pihak mana pun, termasuk lembaga yang punya kewenangan untuk mengaudit bantuan dana itu.

Sedangkan dana untuk penanganan Covid-19 di Aceh setelah penetapan zona hijau di tingkat nasional terdiri dari. Dana Refocusing senilai RP 1,7 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Ditambah lagi dengan penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT), RP 520 miliar, total anggaran sekitar RP 2,2 triliun.

Tentu peristiwa ini mengingatkan saya pada suatu peristiwa wabah Kolera yang sampai ke Aceh, banyak orang Aceh saat itu terjangkit. Oleh karena itu muncullah suatu Khazanah bahasa Aceh. Ta’eun”, itu merujuk kepada sejenis penyakit yang mewabah sampai ke Aceh saat itu, atau dengan istilah lain juga disebut Asiatic Clolera. Ada juga yang menyebutnya Ta’eun ija Broek, lebih tepat diartikan kain yang digunakan untuk membersihkan (kain lap). Dari peristiwa itu juga, orang Aceh dapat menemukan penawarnya.

Seperti, ekstrak pinang tumbuk atau air jambu biji yang sudah dipanggang, kemudian ramuan tersebut diminum. Walau pun bukan secara medis seperti sekarang ini, karena pada saat itu obat-obatan medis belum sampai ke Aceh. Sebagai fakta, untuk penanganan Covid-19 hari ini, yang jumlah korbannya tidak seberapa, bahkan hanya satu kasus saja untuk Aceh, itu pun membuat saya meragukan vonis tersebut. Bahwa satu orang Aceh meninggal dunia Positif Covid-19 sebagai mana yang kita dengar di sejumlah media massa.

Pun demikian, Anggaran yang dialokasikan juga begitu besar untuk penanganan ini, tapi untuk Rapid Test saja, masyarakat harus mengeluarkan biaya sebesar Rp.400 ribu, untuk memperoleh sepucuk surat jaminan Negatif Covid-19. Itu terjadi di beberapa rumah sakit umum di Aceh, bahkan ada yang Rp 600 ribu. Tapi dana yang di anggarkan untuk pencegahan dan bantuan lainnya untuk Covid-19 di Aceh, dengan angka RP 2,2 Triliun. Jelas, fakta ini membuat saya semakin bertanya-tanya. “Anggaran yang sudah di alokasikan sebesar itu, sebenarnya untuk siapa?

Laporan dari Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, anggaran ini baru terpakai RP 118 miliar saat pertemuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang selama ini dimanfaatkan untuk mengatasi jaring pengaman sosial (bantuan bahan pokok), juga untuk administrasi serta transportasi 60 ribu paket di seluruh Aceh.

Namun, saya melihat ada fakta lain yang di sembunyikan di balik Polemik Anggaran ini. Sebagai fakta lapangan, di beberapa daerah seperti Kabupaten Aceh Utara, berapa Kecamatan di sana masyarakat menolak “Bantuan Bahan Pokok” oleh Pemerintah Aceh, karena Ketidakadilan atau pembagian yang tidak merata.

Tidak efektifitasnya upaya pencegahan atau pendistribusian bantuan kepada masyarakat. Tentu, saya melihat masyarakat sebagai kaum terpelajar dan terdidik, sangat memahami kondisioning apa yang sedang ingin diutarakan oleh Pemerintah Aceh saat ini.

Menariknya, menjelang New Normal live. Gubernur Aceh mengeluarkan Surat Edaran (SE) Plt. Gubernur Aceh Nomor Surat 440/7810 dari 23 Kabupaten/Kota yang ada di Ace, tertanggal 2 Juni 2020, 9 daerah menjadi zona merah lagi yaitu, Banda Aceh, Pidie, Simuelu, Aceh Barat Daya, Aceh Tamiang, Kota Lhokseumawe, Gayo Luwes, Bener Meriah dan Aceh Utara.

Kemudian, penetapan zona yang tidak masuk akal saya ini pun dilakukan. Seperti penetapan zona Merah pada Kota Banda Aceh, tapi Aceh Besar zona Hijau. Pidie zona Merah, tapi Pidie Jaya zona Hijau. Penetapan zona yang “Warna Warni” ini juga bukan hanya terjadi pada satu Kota dan Tiga Kabupaten itu saja. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Bireun zona Hijau, tapi di Kota Lhokseumawe zona Merah. Dan di Kota Langsa zona Hijau, tapi Aceh Tamiang zona merah.

Pembagian zona ini sangat membingungkan saya. Padahal, penduduk dari wilayah saling berdatangan ke wilayah yang satu, hingga ke wilayah yang lainnya. Entah itu pergi untuk bekerja, acara kenduri keluarga, atau hanya sekedar berjumpa teman juga sahabat.

Sepertinya, Penetapan zona merah di sembilan (9) Kabupaten/Kota ini hanya untuk menghabiskan uang rakyat saja, pemanfaatan anggaran belanja publik yang sangat menggiurkan untuk kepentingan pilkada tahun depan. Benarkah Begitu?.

Harusnya tidak seenaknya menghamburkan anggaran APBA jika hanya mementingkan elite atau pemangku kekuasaan. Rakyat Aceh sedang susah, Ekonomi tidak bertumbuh, Pengangguran semakin bertambah setiap tahunnya, apa lagi bicara Keadilan, Kesejahteraan dan Kemakmuran, malah kesenjangan sosial semakin terasa.

Rakyat Aceh yang sudah pernah berhadapan dan merasakan konflik, tidak begitu ambil pusing apa pun warna status zonanya. pelangi? Ya, pelangilah. Karena memang karakter masyarakat Aceh sesuai dengan warna warninya.

Oleh : Fakhrurrazi
Penikmat Kopi Wine Hip Coffee

Komentar