Oleh: MAHLIL, S.H.
Nanggroe.net, Aceh |Jagat hukum, demokrasi dan politik Aceh kembali diriuhkan dengan kesimpangsiuran terkait pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (Pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota). Pro kontra mewarnai diskusi di warkop-warkop maupun di media sosial. Pro kontra tersebut seolah-olah di shahihkan oleh pihak yang bertanggung jawab langsung dengan permasalahan ini, yakni Pemerintah Aceh, DPRA, KIP Aceh, Kemendagri dan teranyar KPU RI.
Gelombang kontroversi terkait pilkada Aceh seakan menjadi siklus tahunan dan bom waktu. Penyebabnya hanya dua, yakni hukum (regulasi) yang ‘tumpang tindih’ dan politik yang tidak dioperasionalkan secara maksimal.
Tafsir regulasi
Konflik regulasi mungkin menjadi frasa yang mencuat dan sepintas dilihat sebagai benang kusut yang sulit untuk diurai terutama oleh para politisi atau bahkan ‘pengamat hukum’. Bila kita mengerucut maka ada dua aturan hukum yang menjadi kambing hitam yaitu Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan kedua Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang (UU Pilkada).
Dalam pasal 65 ayat (1) UUPA disebutkan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Di pasal tersebut jelas tercantum secara periodik bahwa pilkada di Aceh dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali tanpa mencantumkan waktu yang definitif. Berdasarkan fakta bahwa Pilkada terakhir dilaksanakan tahun 2017 maka kalkulasi normatifnya adalah pilkada seharusnya akan dilaksanakan kembali pada tahun 2022.
Namun permasalahan muncul ketika Pemerintah pusat menetapkan UU Pilkada pada tahun 2015, dalam pasal 199 disebutkan bahwa Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri.
Baca Juga : Aktivis Mahasiswa Aceh Minta Pemerintahan Pusat Jangan Ingkar Janji
Pada pasal 201 ayat (3) UU Pilkada disebutkan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022. Sedangkan pada ayat (8) tercantum bahwa Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. Dan ayat (9) tertera bahwa Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
UU Pilkada dalam hal ini menjelaskan secara rinci, sistematis dan terukur tidak hanya tentang periodisasi namun juga waktu pelaksanaan pilkada yang definitif.
Dalam perspektif nomenklatur Undang-undang serta progresifitasnya kita dapat menganalisa ke dua Produk hukum itu secara awam bahwa UUPA merupakan Undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Aceh serta keistimewaan-keistimewaan yang melekat di dalamnya termasuk aturan tentang pilkada itu sendiri namun seakan tidak tersentuh dinamika politik dan sosial masyarakat Aceh kekinian (tidak pernah direvisi). Sedangkan UU Pilkada merupakan produk hukum khusus yang mengatur alur demokrasi dan estafet kepemimpinan kepala daerah secara nasional dan terlihat sangat menarik untuk dipoles dan diperbincangkan bahkan di revisi sampai tiga kali, tidak berhenti disitu saja wacana untuk merevisi UU tersebut sampai saat ini masih terus menggelinding.
Beranjak dari hal tersebut, penulis mencoba menganalisa terkait existensi kedua aturan hukum tersebut dengan berpedoman pada sebuah azas hukum yang cukup populer yaitu lex specialis derogat legi generalis ‘aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum’.
Menurut Bagir Manan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu: (1) Ketentuan dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; (2) Ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang); dan (3) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.
Kesimpulan, Jika disandingkan kedua lex (aturan) tersebut secara logika hukum menurut analisa penulis pasal-pasal dalam UU Pilkada khususnya pasal 201 ayat (3), ayat (8) dan ayat (9) layak di tasbihkan sebagai “Lex specialis”.
Advokasi politik
Selain sebagai aturan yang mengikat, Produk hukum atau Undang-undang dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan berbagai advokasi termasuk advokasi politik. Dalam hal ini Pemerintah Aceh, DPRA dan KIP Aceh dapat memaksimalkan perannya secara operasional melalui argumentatif dari berbagai perspektif, lobby politik, meyakinkan pemerintah pusat terkait keistimewaan dan kekhususan Aceh dan membangun narasi yang produktif dari sudut sosial politik.
Baca Juga: KNPI Aceh Utara dukung Pelaksanaan Pilkada Aceh 2022
Hukum sebagai alat yang dimaksud adalah UUPA itu sendiri, artinya lobby-lobby dan argumentasi politik yang dibangun haruslah berpijak pada hukum (UUPA) sebagai legalitas dan alas hak dalam memperjuangkan hajat keistimewaan Aceh. Disinilah kemudian diuji kapasitas dan kredibilitas politisi sebagai aktor yang mampu menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. sehingga tidak tertutup kemungkinan Pemerintah pusat merestui Pilkada Aceh dilaksanakan tahun 2022.
Selain itu, dengan legalitas yang disandingnya (Gubernur, DPRA dan KIP Aceh) sangat terbuka ruang untuk mengajukan revisi UUPA agar sesuai dengan progresifitas hukum dan politik nasional serta kondisi sosial politik masyarakat Aceh dan/atau melalui Partai politik, Anggota DPR-RI dan DPD-RI asal Aceh dapat mengusulkan dibuatnya Undang-undang tentang Pelaksanaan Pilkada di Aceh sehingga Pilkada Aceh tidak harus tunduk/terakomodir pada UU Pilkada umumnya.
Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Unsyiah, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Lhokseumawe dan Pengurus Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Perwakilan Aceh Utara.
Komentar