PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Aceh akan berlangsung pada tahun 2022, KIP Aceh bersama KIP Kabupaten/Kota sudah menyepakatinya. Berdasarkan regulasi Komisi Pemilihan Independen (KIP) Aceh, Tertuang dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Pasal 65 ayat (1). Pasal tersebut berbunyi, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia, serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
Berdasarkan pertimbangan hukum, maka KIP Aceh bersama KIP Kabupaten /Kota Se-Aceh untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Derah (pilkada). Baik untuk tingkat provinsi, Gubernur/Wakil Gubernur, juga pilkada di tingkat Kabupaten/Kota, Bupati dan Wali Kota.
Begitu juga dengan tiga Kabupaten/Kota yang masa jabatannya Bupati/Wali Kota berakhir pada tahun 2023, juga tetap dilaksanakan pilkada pada tahun 2022 tanpa ada pergeseran. Seperti Kabupaten Pidie Jaya, Aceh Selatan dan Kota Subulussalam.
Rekomendasi itu di keluarkan karena untuk menyikapi Pemerintah Pusat yang akan melaksanakan Pilkada serentak pada tahun 2024. Dalam bab II ketentuan pemilihan, pasal 718. Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, hasil pemilu serentak pada bulan Juni 2019, masa jabatannya berakhir sampai terpilihnya Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, hasil pemilu lokal pada tahun 2022.
Aceh dengan segenap keunikan yang dimilikinya tentu menyajikan sesuatu yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, terutama dalam perhelatan Pilkada pasca Normalisasi hubungan Aceh dengan Jakarta 15 tahun silam.
Sengit dan kerasnya kontestasi Politik ini mengingatkan saya pada Pemilihan Umum Kenya, pada tanggal 27 Desember tahun 2007 yang digelar untuk memilih presiden.
Bagaimana tidak, di sana terdapat dua tokoh besar Kenya yaitu, Kibaki dan Odinga. “Perang besar”secara Politik itu, untuk memilih presiden, anggota Parlemen dan Dewan Lokal.
Pertarungan politik ini merupakan perang dingin yang sengit antara Kibaki dan Odinga yang sudah berlangsung sejak lama dan menemukan panggung puncak perhelatannya yaitu untuk merebut kursi Kepresidenan Kenya. Pemilu yang sejatinya merupakan ajang pertarungan agenda politik paling demokratis itupun diwarnai permusuhan etnik, di mana Kibaki memimpin Kikuyu yang dominan.
Sedangkan Raila Odinga, menciptakan basis yang luas dengan menyatukan lima suku besar. Meskipun secara survei atau jajak pendapat yang diutarakan oleh pengamat dan sejumlah akademis lainnya lebih mengunggulkan Odinga. Survei itu bagian dari upaya pihak Odinga mempengaruhi pemilih atau memang benar, bahwa pemilih lebih cenderung kepada Odinga sebelum pemilihan yang jelas hasil survei memberikan Signal awal.
Bahwa pemilu akan dimenangkan oleh Odinga, tapi nyatanya hasil survei terbantahkan dan Subaki dinyatakan lulus sebagai pemenang dengan perolehan suara, 46%. Sedangkan Raila Odinga dengan raihan suara 44%. Namun, di lain sisi, partai Odinga memenangkan mayoritas kursi di Majelis Nasional atau Parlemen.
Odinga dan para pendukungnya menolak hasil pemilihan mengingat Odinga telah memperoleh suara terbanyak di enam dari delapan provinsi. Juga beberapa basis dukungan Kibaki telah tercatat lebih dari 100% jumlah pemilih. Tapi, Kibaki tetap dilantik sebagai presiden pada tanggal 30 Desember 2007.
Kekerasanpun pecah tak lama setelah hasil pemilu diumumkan dan memicu bentrokan etnik. Kekerasan itu menyebabkan lebih dari 1.300 orang tewas dan 600.000 orang kehilangan tempat tinggal. Raila Odinga dan Kibaki pada akhirnya membentuk konsensus untuk mengakhiri kekerasan dan membentuk pemerintahan koalisi dengan Odinga menjadi perdana menteri. Tentu, gaya perpolitikan yang sarat kekerasan ini tidak dibenarkan dalam budaya politik yang kemajemukan dewasa ini.
Pemilu yang diwarnai kekerasan itu juga terajadi pada Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Aceh pada tahun 2012 silam, yang kemudian menjadi fakta sejarah hitam dalam pusaran Politik lokal Aceh.
Bagaimana tidak, kala itu ada dua faksi besar yang sebelumnya mereka ditakdirkan berjuang bersama diera perang, bahkan nyawa sebagai taruhan demi mengembalikan hak-hak Aceh di hadapan republik, bahkan hak untuk hidup dan mati.
Namun, dalam pertarungan politik lokal saat itu kita harus jujur atas nama anak bangsa, kekerasan yang mewarnai kontestasi politik itu telah menorehkan “luka” bagi saya secara pribadi, yang merupakan penggawa demokrasi, tentu juga bagi segenap Rakyat Aceh pada umumnya. ada sejumlah peristiwa anarkis yang terjadi antar sesama anak bangsa.
Padahal sebelumnya mereka punya mimpi yang sama untuk Aceh yang lebih baik. Setelah pemilihan selesai, yang di selenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Pada tanggal 9 April 2012 dengan cara serentak Pemilihan Umum Kepala Daerah di 17 Kabupaten/Kota di Aceh dari jumlah keseluruhan 23 Kabupaten/Kota Se-Provinsi Aceh.
Kala itu pasangan calon Gubernur Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan kalah, dengan perolehan suara 29,18%. Sedangkan rivalnya yang juga sesama mantan pemberontak (GAM) pasangan dr. Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf keluar sebagai pemenang dengan jumlah perolehan suara, 55.78%. Begitu juga dengan tiga pasangan lainnya, masing-masing mereka memperoleh suara, Muhammad Nazar –Ir. Nova Iriansyah, 7,65%. Prof Darni M Daud – Dr Tgk Ahmad Fauzi, 4.07%. Tgk Ahmad Tajuddin – H.T Suriansyah, 3.33%. Data ini saya dapatkan dari id.m.wikipedia.org.
Satu periode kemudian Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Aceh kembali digelar di tahun 2017 lalu. Sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan masyarakat Aceh, bahwa pilkada 2017 berbeda dari pilkada 2012 silam, di mana kekerasan terkesan dibiarkan dan Irwandi memang ingin dikalahkan.
Saya melihat Kali ini, justru Jakarta menginginkan Pasangan Drh. Irwandi Yusuf – Ir. Nova Iriansyah keluar sebagai pemenang dalam pilkada Aceh dan menjadi Gubernur di Aceh.
Hasilnya, Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Aceh pun berlangsung dengan cukup demokratis jauh berbeda dengan pilkada sebelumnya. Pilkada 2017, hanya beberapa kasus keributan ringan, seperti keributan pembakaran baliho atau spanduk sebagai alat peraga kampanye.
Tindakan itu juga hanya terjadi di beberapa titik saja di Aceh. Sedangkan pilkada 2012 silam, hampir semua titik di Aceh terjadi tindakan kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Bahkan, klimaksnya ada yang harus mati saat membela kandidat yang didukungnya. Namun, pada pilkada 2017 dengan segala bentuk strategi yang dilakukan untuk memenangkan pasangannya masing-masing, akhirnya pilkada 2017 dimenangkan oleh pasangan Drh Irwandi Yusuf – Ir Nova Iriansyah, dengan jumlah perolehan suara, 37.22%, Irwandi berhasil mengungguli “rival utamanya” Muzakir Manaf.
Upaya Menunggangi Panglima GAM
Muzakir Manaf, merupakan Panglima GAM, pada Pilkada 2017 tidak bersanding dengan dr. Zaini Abdullah, tapi dia dikawal ketat oleh Ir T A Khalid yang merupakan kader Partai Nasional di Aceh yaitu sebagai ketua DPD Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Aceh.
Hal ini sejatinya mendapatkan perlawanan dari internal Partai Aceh utamanya. Tentu, hal ini terlihat jelas sebelum Muzakir Manaf menetapkan T A Khalid sebagai pendampingnya pada pilkada 2017 lalu, sempat menimbulkan keretakan, hingga ‘Adu Jotos’ pada rapat internal Partai Lokal Aceh itu, yang menghantam Abu Razak. Ini merupakan bentuk nyata, protes dari Internal Mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), agar Muzakir Manaf jangan dipasangkan dengan Kader Partai Nasional (parnas).
Lebih jauh saya menilai bahwa ada beberapa pihak yang sengaja memainkan peranannya di Aceh, melalui upaya ‘menduetkan’ Kader Partai Nasional dengan Muzakir Manaf demi kepentingan jangka panjang Jakarta di Aceh.
Dari operasi yang dijalankan itu terbaca jelas, bahwa mereka ‘hanya’ memanfaatkan Muzakir Manaf sebagai Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebagai batu loncatan supaya mereka bebas berwara-wiri menyelesaikan Agenda terselubungnya di Aceh. Saya mencium ‘agenda’ penjarahan Hasil Alam di bumi Aceh. Di balik operasi besar ini, lewat narasi politik ‘terselubung’ yang mereka bangun.
Atas dasar asumsi itu sehingga saya menilai harus ada upaya khusus yang perlu kita rencanakan, untuk menyelamatkan Muzakir Manaf sebagai Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebab, sebelumnya kita juga sudah kehilangan Kapten Irwandi Yusuf, yang juga punya peran yang sangat strategis dalam melakukan perjuangan Aceh. Kali ini, kita tidak boleh sampai Kehilangan Panglima (GAM), dalam momentum politik pada tahun 2022 yang akan datang.
Menariknya, pihak yang sedang berwara-wiri mejalankan operasi Jakarta ini, mengapa hanya memainkan peran di dua kubu ini (Irwandi dan Muzakir) saja. Hal ini dikarenakan, bergaining Politik Ideologis Aceh ada di dua kubu tersebut. Antara Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf. Pada tahun 2012 silam, saat pertama terjadi pergesekan antar ‘elite’ GAM pasca damai, orang yang saya maksud ini berinisial S berada di pihak Muzakir Manaf. Sedangkan yang satunya berada dipihak Irwandi Yusuf, juga berinisial S tepatnya SRC. namun Pada pilkada 2017 lalu, mereka terlihat bertukar posisi. Yang berinisial S bergeser kubu Irwandi Yusuf.
Sedangkan yang berinisial SRC berada pada kubu Muzakir Manaf, dan ini terbaca jelas berlanjut hingga sampai sekarang setidaknya hingga pilkada 2022 digelar. Kehadiran mereka di tengah-tengah kubu mantan pejuang GAM terutama Muzakir Manaf ke depan sejatinya berpotensi menjadi bumerang.
Sehingga jika nantinya Muzakir Manaf ‘gagal’ memenuhi ekspektasi mereka, maka Muzakir Manaf sebagai pribadi dan juga sebagai ‘Icon’ yang mewakili mantan kombatan GAM, akan berada dalam posisi terancam layaknya yang menimpa Irwandi Yusuf pasca kemenangan 2017 lalu. Saya yakin agenda terselubung inilah yang membawa Irwandi Yusuf pada kasus suap tak lama setelah dilantik menjadi Gubernur Aceh. Yang layak menjadi catatan kita adalah, ada operasi khusus yang dijalankan oleh pihak tertentu untuk memastikan bahwa setiap Kandidat yang berlatar belakang GAM ‘wajib’ dipasangkan dengan kader Partai Nasional.
Belajar Dari Kasus Irwandi
Gubernur Aceh meledakkan diri di pendopo dan para musuhnya pun menggelar tenda-tenda mewah untuk merayakan kematiannya, yang diiringi dengan ribuan papan bunga ucapan ikut bersuka cita atas kematian yang bermakna kemenangan tanpa perlu melepaskan satu pun peluru apa lagi ratusan batalion tempur”. Apakah ini sebuah kenyataan yang sesungguhnya?. Tentu tidak, tapi tindakan yang lebih konyol dari itu meski dalam lakon yang lebih ramah nan damai bisa saja terjadi di Aceh jika rakyat Aceh menginginkan Muzakir Manaf maju pada pilkada 2022 nanti, salah menentukan sikap di pilkada 2022 mendatang, maka akan terus bertambah kekonyolan Panglima yang selama ini memang sedang ingin dihancurkan.
Diakui atau tidak, pilkada 2022 merupakan ‘perang’ yang tidak ingin dilewatkan oleh siapa pun untuk dimenangkan, tidak ada satu kubu politik pun yang bekerja keras hanya untuk sebuah kekalahan, apa lagi kekalahan yang diusahakan sendiri, itu semua di alam sadar. Namun, jika salah perhitungan bukan tidak mungkin secara tidak sengaja akan ada kubu politik tertentu justru sedang merancang dan berupaya keras dengan segenap pengorbanan untuk menghancurkan dan mengalahkan diri sendiri dan kita tidak ingin ini terjadi pada kubu mantan pejuang GAM.
Kita tentu belum lupa dengan sejarah panjang perang bersenjata di Aceh yang berujung pada perdamaian. Baru saja berakhir perang, seketika damai sudah lewat 15 tahun lalu, sedangkan agenda kesejahteraan, kemakmuran, keadilan belum juga tersentuh persis seperti wacana yang dikampanyekan di setiap musim politik. Sehingga jika kekuatan mantan pejuang GAM berhasil dilumpuhkan secara total dengan melumpuhkan Muzakir Manaf sebagai panglima, sulit kita berharap Aceh masih punya bargaining yang kuat dihadapan republik dalam setiap uapaya memperjuangkan kewenangan demi kesejahteraan Aceh jangka panjang yang ingin kita wujudkan.
Jalan Perdamaian yang diraih lewat sebuah kesepahaman untuk menormalkan kembali kondisi Aceh seperti saat sebelum genderang perang senjata di tabuhkan bukan berarti semua agenda sebelumnya terhenti secara otomatis seiring tanda tangan damai dibubuhkan, pilihan ‘damai’ ini bukan berarti semua pihak bisa dipastikan puas atau bahkan menganggapnya benar-benar berakhir. Namun, pasti ada yang beranggapan bahwa ini hanya pergantian arena saja, kalau dulu perang senjata, sekarang perang suara lewat jalur yang demokratis.
Di penjuru dunia mana pun, dalam konteks pertarungan apa pun, pada prinsipnya lawan tetap harus ditaklukkan dengan cara sadis maupun sopan, dengan kasar maupun dengan penuh kelembutan. Mengasihi lawan adalah bunuh diri, namun demikian, sesuai dengan prinsip di atas lawan tetap harus ditaklukkan dan ditundukkan atau bahkan dihabisi jika perlu. Tentu jangan juga menghabisi saya karena tulisan ini. Sebab, dunia sudah berubah.
Bagi petarung profesional, menaklukkan lawan tidak selalu dengan cara menghabisi jasadnya secara sadis bin kejam. Namun, menundukkan lawan sesuai dengan kelasnya, hanya musuh tertentu dengan kelas tertentu yang perlu dihabisi. Terkadang ada lawan yang hanya perlu didiamkan baik dengan ‘kasih sayang?’ maupun dengan sedikit ancaman.
Semua itu tergantung dari kualitas lawan dan konsekuensi yang harus dihadapi ketika ia ditaklukkan.
Lalu apakah ia tetap dibiarkan jadi lawan yang terus menebar ancaman?
Tentu Tidak, jika perlu berikan ia sedikit kekuasaan, namun pastikan semuanya terkendali. Sedikit mengancam atau melawan maka tinggal ‘bongkar’ kesalahannya, giring dia ke meja hukum, pasung dia di penjara atau bahkan biarkan dia dihabisi oleh temannya sendiri. Sungguh kita tidak menginginkan agenda yang sama terulang pada Panglima.
Maka “Penyelamatan Panglima Pada Pilkada 2022” harus dilakukan mulai hari ini, besok dan seterusnya. Jadikan dia Panglima yang utuh, yang penuh dengan kewibawaan sebagai Panglima Perang Aceh, bukan sebagai Gubernur Aceh, yang dalam setiap detiknya berada dalam bidikan lawan untuk dihentikan.
Ingat “Petarung profesional, akan melucuti lawan dengan cara profesional, hanya petarung amatir yang mempertaruhkan nyawa untuk secangkir kopi pagi gratis.”
Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) S.O.L.I.D lah, untuk Aceh berserta kandungannya!.
Oleh : Fakhrurrazi
Penikmat Wine Kopi Aceh
Komentar