Pandemi Covid-19 dan Cerita Dilematis Mahasiswa

Nanggroe.net, Aceh Utara| Setahun lebih sudah, pandemi covid-19 belum juga berlalu. Sebagian kampus lebih banyak kuliah daring, malahan ada yang ditutup kampus agar kuliah dilaksanakan secara online. Proses pembelajaran tetap dilakukan dari rumah.Yang mengkhawatirkan apakah terjamin 95% para Generasi Muda Itu fokus dalam pembelajaran? Masih dalam tanda tanya ditahun yang akan datang.

Meski pemerintah mengisyaratkan pembukaan kampus secara bertahap pada Juli 2021, sejumlah kalangan memandang perlunya kehati-hatian dan persyaratan ketat dipenuhi sebelum rencana ini direalisasi.
Informasi yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (31 Maret 2021) menyebutkan dua alasan penting mengapa pembelajaran tatap muka terbatas harus segera dilakukan.

• Pertama, vaksinasi pendidik dan tenaga pendidik, yang sedang dijalankan mulai April 2021 ini.
• Kedua, mencegah lost of learning karena kondisi pendidikan di Indonesia sudah tertinggal dari negara lain selama pandemi ini.

Maka dari itu saya mengungkapkan keinginan untuk kembali menjalani proses pembelajaran dan aktivitas lainnya di kampus. Keterbatasan interaksi secara langsung dengan teman-teman dan dosen membuat dorongan itu kian memuncak. Terbatasnya interaksi dengan komunitas mahasiswa dirasa begitu menyiksa secara psikologis.

Jiwa muda mahasiswa yang aktif dan dinamis tak dapat disalurkan secara tuntas hanya dengan sarana daring. Mahasiswa biasa berkegiatan di kampus, namun hingga kini dipaksa berinteraksi via virtual/daring.
Kesulitan memahami materi dalam pembelajaran dan tingkat kesulitan dalam mengakses e-learning (koneksi jaringan atau android berkendala seketika) untuk mengisi absensi daring atau dalam mengupload tugas, kini terasa pada jiwa mahasiswa, begitu pula dengan SD dan sekolah menengah lainnya belajar tanpa bertatap muka dengan dosen atau guru pembimbing itu sangat membosankan serta sangat sulit dilakukan.

Baca Juga:

Pelemahan KPK Bukti Reformasi Dikorupsi

Terkadang sebagian dosen mengeluhkan kolaborasi dan berbagi itu terus dilanjutkan hingga saat mengerjakan soal ujian. Dan ada pun sebagian dosen merasa kewalahan dalam menggunakan android nya untuk mengakses tata cara dalam penggunaan e-learning atau hal lainnya. Sebab belum terbiasa akan hal itu.

Tak ayal lagi, jawaban yang diberikan serupa. Apalagi jika materi yang diberikan bersifat kuantitatif. Jawaban sama dan bisa dipastikan seluruh mahasiswa memperoleh nilai yang sama pula. Sebab sebagian mahasiswa kuliah online terganggu dikarenakan tidak bisa Move On dari Gadget nya.

Barangkali salahnya sebagian dosen yang tidak mengubah metode evaluasi pembelajaran. Cuma memindahkan ujian di kelas ke rumah masing-masing dan menambahkan tingkat kesulitan soal.

Mengenai hal ini, saya selaku mahasiswi mengatakan bahwa mereka berkolaborasi dan berbagi jawaban ujian karena kondisi yang tidak menguntungkan jika masih kukuh “IDEALIS”.

“Jika saya tidak memberitahu jawaban, teman saya tidak akan membantunya jika saya menemukan kesulitan menjawab soal. Jika saya bekerja seorang diri karena tidak ada yang mau bekerja sama dengan saya, lalu saya memperoleh nilai paling rendah di kelas, apakah dosen peduli dengan saya, bahwa saya telah mengerjakan sendiri, tidak bekerja sama?”

Demikian pembelaan dan ungkapan hati seorang mahasiswi. Apa yang disampaikan memang patut dipahami.
Seandainya kalangan pengajar berada di posisi mahasiswa, tidak ada yang berani menjamin, akan berlaku sebaliknya. Sekali lagi metode untuk mengevaluasi hasil belajar mahasiswa harus diubah.

Baca Juga:

Penerima KIP Tidak Tepat Sasaran, Hidayat : Mari Tingkatkan Kesadaran, Hak Mereka Adalah Hak Mereka

Sementara bagi mahasiswa, penting untuk kembali ke kampus agar dapat berkonsultasi langsung dengan dosen, mencari pencerahan atas materi yang selama setahun ini, dianggap kurang dipahami. Dan, tentu saja bersua kembali dengan teman-teman, menambah warna-warni kehidupan kampus, menambah semangat meniti masa depan.

Bagi mahasiswa baru, yang belum pernah menginjakkan kaki kampus, tentu dorongan merasakan suasana kampus begitu kuat. Barangkali kehidupan kampus yang NYATA bukan MAYA masih dalam bayangan mereka.
Bagi dosen, pengalaman setahun lebih dari proses pembelajaran daring memberi banyak pelajaran dan perspektif baru dalam metode pengajaran. Ada yang masih bisa dijalankan, tidak sedikit yang terus mengalami kesulitan. Sasaran pembelajaran tidak tercapai. Interaksi langsung dalam pengajaran belum dapat digantikan.

Tampaknya dalam hal ini sangat perlu jalan tengah dalam situasi dilematis seperti saat ini. Membuka kampus seperti sediakala memang belum memungkinkan. Kendati setiap warga kampus sudah merindukan suasana seperti dulu lagi.

Kampus harus dibatasi maksimal 50 persen dari kapasitas normal. Dengan asumsi para dosen dan tenaga pendidik lainnya telah menjalani vaksinasi, pembukaan kampus mestinya harus dipersiapkan sejak dini, terutama yang berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan ketat.

Pertama, siapa mahasiswa yang menjadi prioritas boleh menjalankan proses pembelajaran di kampus?
“Mahasiswa semester akhir yang sedang menyusun tugas akhir patut menjadi pertimbangan pertama.”

Mereka biasa berkonsultasi intens dengan dosen pembimbing untuk menyelesaikan skripsi atau tugas akhir. Bisa di laboratorium, atau mencari referensi di perpustakaan. Secepatnya perpustakaan segera disiapkan untuk menerima kunjungan dari segenap sivitas akademika.

Selain mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir, mahasiswa yang sedang mengambil praktik laboratorium atau mata kuliah dengan materi yang sarat dengan perhitungan kuantitatif, mestinya juga dapat dipertimbangkan untuk hadir di kelas, tentu dengan memperhatikan kapasitas 50 persen dari kondisi normal.

Baca Juga:

Sex Bebas Hal Yang Biasakah Bagi Kaum Mileneal ?

Kedua, bagi mahasiswa yang belum memperoleh kesempatan untuk mengikuti perkuliahan luring, tetap diperkenankan berkonsultasi dengan dosen di kampus.

Mereka harus mendaftar terlebih dahulu melalui program daring khusus yang didesain untuk mengontrol jumlah mahasiswa yang datang. Maksud kedatangan dan hendak menemui siapa terekam pasti. Ketika datang, di pintu masuk petugas memeriksa bukti izin berupa QR code atau bentuk bukti izin lainnya yang dapat dipindai, sebagai syarat menemui dosen.

Ketiga, pada kondisi tertentu ujian tertulis dapat dilaksanakan di kampus. Ini untuk memberikan solusi bagi dosen yang masih kesulitan mengubah cara mengevaluasi proses pembelajaran mahasiswa. Bagi sebagian mahasiswa pilihan ini menjadi tidak menyenangkan.

” Saya lebih memilih perkuliahan luring, tapi ujiannya tetap daring,” isi pikiran mahasiswa penuh dengan rasa kebolosan yang semakin nyaman,tidak sadar kebodohan menyelimuti dirinya.

Menjalani masa-masa sulit ini dan terus beradaptasi dengan berbagai perubahan yang masih akan terus terjadi, menjadi tantangan selanjutnya. Setahun lebih dunia pendidikan Indonesia bergelut dengan berbagai ketidakpastian, walau dengan risiko lost of learning, kita masih bisa bertahan.

Rencana pembukaan kampus secara terbatas dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi mudah-mudahan tidak menjadi EUFORIA yang meninabobokan padahal ujian pandemi masih jauh dari selesai.

Penulis Gustina Mahasiswi angkatan 2020 Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Kader HMI Cabang Lhokseumawe – Aceh Utara
Alumni SMK Negeri 1 Sinabang

Redaktur : Manzahari

Komentar