“Fastabiqul Khairat” Spirit Of Islam

Dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 48 Allah SWT menjelaskan, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (Qs. Al-Maidah: 48).

Secara instruktif dalam ayat di atas Allah menghendaki kita agar senantiasa berpegang teguh pada kebenaran yaitu Al-Quran yang merupakan sumber hukum dan juga sumber kebenaran yang telah diturunkan-Nya kepada kita melalui Nabi Muhammad SAW yang merupakan kita yang di dalamnya menjelaskan mana yang benar (al-haq) dan mana yang salah (Bathil), mana yang dikatakan kebaikan yang wajib senantiasa kita lakukan dan tingkatkan dan mana yang termasuk kemasiatan yang wajib kita jauhi dan tinggalkan.

Setelah kita mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk sesuai yang dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits kita kemudian dituntut juga untuk senantiasa melakukan kebaikan yaitu melalui instruksi yang cukup jelas yaitu “Fastabiqul Kahiraat”. Kalimat ini diambil dari firman Allah yang terdapat di dua ayat di dalam Al Quran, yaitu Surat Al Baqarah ayat 148 dan Surah Al Maidah ayat 48. Jika kita mengkaji dan menilik lebih dalam makna dari kalimat “Fastabiqul khairat” ini dari beberapa tafsir para ulama. Maka kita akan dapat mengambil mengambil beberapa pelajaran yang menjelaskan tentang makna dan spirit utama dari kalimat tersebut, antara lain yaitu:

Pertama Dalam di atas kita diperintahkan Allah untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, ketaatan dan mencari ridha Allah, baik itu sebagai individu (keshalehan pribadi) maupun sebagai anggota masyarakat (keshalehan social). Pada dasarnya setiap ada kalimat perintah dalam Al-Quran atau kalimat amar maka senantiasa dimaknai sebagai tuntutan untuk dilaksankan baik yang bertarf urgen hukumnya wajib maupun sebagai perbuatan sunnat, artinya kita dianjurkan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan baik itu yang wajib kita lakukan maupun yang sunnat.

Ke dua Selain kita dituntut melakukan kebaikan melalui kalimat fastabiqu khairat ini Allah juga menghendaki kita untuk berlomba-lomba sesering mungkin (intensitas), sebanyak mungkin (kuantitas) dan juga sebaik mungkin (Kualitas), artinya kita dianjurkan untuk terus melakukan, meningkatkan dan juga konsistens dalam melakukan kebaikan dari hari ke hari, dari waktu ke waktu.

Sebagai siswa misalnya kita pada semester yang lalu pernah membantu teman, suka bergotong royong sebagai bentuk keshalehan social kita, sering memanfaatkan waktu luang untuk membaca, rajin melaksanakan shalat sunnat, berzikir dan berbagai keshalehan individual lainnya maka semester ini hendaknya kita bisa berbuat yang lebih baik lagi dari yang sudah pernah kita lakukan pada semester sebelumnya, sehingga spirit fastabiqul khairat tersebut benar-benar mewarnai keseharian kita sebagai muslim dan muslimat.

Ke tiga kata “Khairat” ini adalah kata jama’ atau menunjukkan bahwa yang di maksud dalam ayat ini bukan hanya satu jenis kebaikan saja (khayr) tetapi juga kebaikan-kebaikan, artinya semakin banyak kita melakukan kebaikan dan semakin banyak jenis kebaikan yang kita lakukan akan semakin baik. Misalnya kita pada semester lalu hanya berbuat baik dengan teman tertentu maka pada semester selanjutnya kita wajib berbuat baik kepada lebih banyak orang, atau semester lalu kita hanya berbuat kebaikan dengan mengikuti gotong royong kalau di awasi oleh guru maka untuk semester ke depan kita akan senantiasa bergotong royong menjaga kebersiahan baik ketika diawasi oleh guru maupun tidak.

Lalu timbul pertanyaan atau pernyataan dari sebagaian pihak misalnya “berlomba-lomba dalam kebaikan tidak mendatangkan kebaikan karena akan menimbulkan rasa hasad pada mereka yang ‘mengalahkan’ yang lain dalam kebaikan dan juga rasa ria karena bangga ketika sudah melakukan kebaikan yang lebihi orang lain?”.

Tentunya pernyataan tersebut tidak tepat, spirit fastabiqul khairat yang dikehendaki di sini bukan dalam makna kita wajib memastikan diri lebih baik dari orang lain dan mengupayakan orang lain tidak boleh lebih baik dari kita, sehingga kita bisa berbangga diri sebagai orang yang paling baik dan lebih baik dari yang lain, Tentu tidak demikian.

Dalam konteks ini spirit fastabiqul khairat tersebut harus dilandasi oleh niat tulus dan ikhlas lillahi ta’ala, kita meningkatkan kebikan melebihi orang lain benar-benar untuk mendapatkan karunia Allah, sehingga kita juga dituntut berkompetisi dengan diri sendiri untuk terus menerus meningkatkan kualitas, kuantitas dan intensitas kebaikan yang kita lakukan dari hari ke hari.

Di sisi lain spirit fastabiqul khairat ini juga harus berbarengan dengan semangat mencegah kemungkaran atau kejahatan, karena mencegah kemungkaran itu sendiri adalah bagian dari kebaikan, misalnya kita senantiasa melaksanakan shalat, senantiasa tiap malam mengikuti pengajian di pondok, tapi di sisi lain kita juga kerap kali menipu orang lain atau membantu orang yang sedang berbuat dusta, ini tentunya juga tidak sesuai dengan spirit utuh dari fastabiqul khairat itu sendiri, artinya selain diperintahkan melakukan dan meningkatkan serta berlaomba-lomba dalam kebaikan kita juga harus menjauhi diri dari kemaksiatan.

Dalam Al-Quran ayat 104 surat Ali Imran Allah menjelaskah “Dan hendaklah kamu menjadi segolongan ummat yang meneyru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Qs Ali Imran:104). Dalam ayat ini kegemaran kita dalam melakukan kebikan dan mengajak kepada kebaikan saja belum cukup tapi juga mesti diiringi dengan menjauhi dan mencegah yang mungkar. Di sisi lain dari ayat ini juga dapat dipahami bahwa shaleh secara pribadi saja dengan melakukan kebaikan demi kebaikan tidaklah cukup, tapi juga harus dibarengi dengan keshalehan social yakni mengajak orang lain di sekitar kita untuk ikut serta melakukan kebaikan dan juga, menjauhi serta mencegah kemungkaran atau kemaksiatan.

Sebagai siswa misalnya di semester lalu kita tidak pernah bolos dari kelas baik siang di jam regular, sore di jam prosus maupun malam di jam pondok sehingga kita telah menjadi siswa yang baik, apakah ini cukup? Tentu tidak, kebaikan yang sudah kita lakukan selain harus ditingkatkan juga harus bisa mempengaruhi orang lain di sekitar kita untuk dapat melakukan kebaikan yang sama dengan apa yang kita lakukan, karena sesungguhnya mengajak orang lain kepada kebaikan serta mencegah orang lain dari kemungkaran itu sendiri adalah sebuah kebaikan tambahan bagi orang yang mengisiasinya.

Sebagai anggota masyarakat misalnya kita sebagai genarasi muda memang tidak pernah melakukan korupsi, penindasan dan berbagai kesalahan lainnya yang kerap dilakukan oleh pemerintah, tapi apakah dengan tidak melakukan itu berarti kita sudah cukup baik? Tentu tidak, kita juga punya tanggung jawab untuk mencegah agar pelanggaran atau kemungkaran semisal korupsi, kolusi dan nepotisme atau bahkan penindasan itu tidak terjadi, kita tetap harus peduli dengan lingkunan sekitar kita, kita harus mencegah itu sesuai dengan kemampuan kita misalnya dengan menyampaikan kritikan melalui media maik media cetak, media online atau sebatas melalui medsos misalkan.

Islam jelas menginginkan kita menjadi orang baik dan juga memperbaiki orang lain, denga kata lain kita tidak cukup hanya baik untuk diri sendiri tapi juga harus bermanfaat bagi orang lain, “kahirunnas anfa’u linnas” Demikianlah Islam menghendaki Ummatnya, untuk itu mari kita terus berbuat baik, meningkatkan kualitas, kuantitas dan intensitas kebaikan kita secara kontinu serta terus berupaya memperbaiki orang-orang di sekitar kita sehingga pada akhirnya kita menjadi Khairul Ummah, Fastabiqul Kahiraat!

Oleh: Muhammad Ramadhan, S.Pd.I
Seorang Pengajar

Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Komentar