ACEH | Beberapa hari yang lalu terhitung dari tanggal 9-11 Mei aceh digemparkan dengan fenomena tidak bisanya Bank Syariah Indonesia. Hal ini menyebabkan banyaknya nasabah yang mengeluh karena tidak bisa melakukan transaksi, mulai dari transaksi tarik tunai via ATM, via BSI mobile maupun via Teller.
Diantara nasabah yang mengeluh berasal dari kalangan mahasiswa yang kesulitan keuangan di hari tersebut sehingga diantara mereka banyak yang berutang.
Salah satu mahasiswa yang terkena imbas BSI yaitu Muhammad Syaukas Khalidillah yang berasal dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Dalam wawancara dengan Syaukas, ia mengeluh dampak dari permasalahan BSI.
“Apa lu BSI ni, ga bisa kita tarik duit, sampai-sampai kita harus minjam, mudah-mudahan cepat selesailah masalah ini, biar aku ga minjam duit lagi,” keluhan dan harapan Syaukas pada kejadian BSI.
Sehubungan dengan keluhan dan kejadian di atas, BSI sudah mengklarifikasi dan meminta maaf kepada seluruh nasabah karena ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari serangan siber yang dilancarkan ke server BSI sehingga membuat seluruh transaksi di BSI lumpuh total selama beberapa hari ini.
Dalam keterangan dilaman Instagram BSI telah mengemukakan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami nasabah dan akan terus mengoptimalkan persoalan yang dikeluhkan nasabah.
Pemerintah Aceh di hebohkan dengan argumen ketua dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang menanggapi isu terkait permasalahan yang terjadi di Bank Syariah Indonesia (BSI). Ketua DPRA, Saiful Bahri alias Pon Yahya menyampaikan sangat prihatin atas gangguan layanan BSI tersebut.
Sebab menurutnya, BSI selama ini jadi tumpuan sebagian besar masyarakat Aceh untuk transaksi. Kini, sambung beliau, pihaknya sudah bermusyawarah di DPRA untuk meninjau ulang dan merivisi qanun LKS agar bank konvensional bisa beroperasi kembali di aceh.
Revisi itu, sebut pon yahya merupakan suatu hal yang mendesak mengingat sejak tidak beroperasi lagi bank konvensional banyak pengusaha hingga masyarakat mengeluh lemahnya layanan bank syariah di Aceh.
Apalagi, masyarakat yang hendak bertransaksi ke luar negeri juga sulit karena terbatasnya layanan perbankan yang ada di Aceh.
Atas statetment yang di sampaikan oleh ketua DPRA, Koordinator Komisariat Aceh Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam Sumatera bagian utara (FoSSEI Sumbagut) Fathurrahman Mauqi menyatakan tidak sepakat dengan gagasan tersebut yang ingin merevisi Qanun nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan tujuan menghadirkan kembali bank konvensional di Aceh hanya karena permasalahan yang terjadi di Bank Syariah Indonesia (BSI).
Seharusnya statement diatas tidak keluar dari seorang ketua DPRA, karena selaku perwakilan dari rakyat aceh seharusnya memiliki visi misi yang sama untuk mensyariahkan Aceh yang salahsatunya telah terealisasikan dengan adanya Qanun LKS.
Sebagai dewan perwakilan rakyat aceh seharusnya menjadi penengah dengan isu yang beredar sekarang bukan malah memperkeruh suasana dengan statement yang beliau sampaikan saat ini.
Seperti yang kita ketahui penerapan lembaga keuangan syariah di aceh tidak semata-mata demi kepentingan satu pihak, tetapi menjadi landasan untuk memajukan perekonomian di Aceh.
Seharusnya revisi Qanun LKS bukan untuk mengembalikan Bank konvensional tetapi untuk menguatkan lembaga keuangan syariah yang sudah ada di Aceh. Apalagi bank yang bermasalah hanya BSI sedangkan di Aceh masih banyak bank-bank Syariah lainnya.
Mengembalikan bank konvensional bukan lah solusi terbaik untuk Aceh, karena bank syariah tidak biasa di bandingkan dengan bank konvensional yang sudah tergolong lama.
Fathurrahman selaku koordinator komisariat Aceh FoSSEI Sumbagut menyampaikan harapannya kepada ketua DPRA jika diperlukan merevisikan Qanun LKS maka revisi tersebut bertujuan untuk meperkuat lembaga keuangan syariah bukan mengembalikan bank konvensional ke Aceh, jika revisi bertujuan mengembalikan bank konvensional ke Aceh maka kami dengan tegas menolak hal itu.
Penulis : Fathurrahman Mauqi Mahasiswa Ekonomi Syariah FEBI UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Angkatan 2020
Komentar