
NANGGROE.MEDIA, ACEH | Pengadaan pin emas seberat 10 gram untuk 21 anggota DPRK Aceh Tengah senilai Rp 463 juta menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Selain mendapat penolakan dari masyarakat pada aksi demonstrasi oleh Aliansi Gayo Merdeka, isu ini juga dikritisi oleh kalangan akademisi. Rabu, 03 September 2025.
Dalam hal itu, Akademisi sekaligus pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal), Dr. Hadi Iskandar, SH.,MH.,CPM, CP Arb, menilai bahwa penggunaan pin emas oleh anggota DPRK memang memiliki dasar hukum sebagai simbol identitas dan kehormatan dalam kedudukan mereka sebagai wakil rakyat.
Namun, menurut pakar Hukum Tata Negara itu tidak ada kewajiban hukum yang menyatakan bahwa pin tersebut harus berbahan emas. “Pin biasanya digunakan sebagai simbol kehormatan, identitas, dan kedudukan anggota DPRK sebagai wakil rakyat. Secara hukum, pin DPRK memang memiliki dasar sebagai identitas resmi (hak protokoler), tetapi bahan emas bukanlah kewajiban hukum,” terangnya.
Lebih lanjut, Dr. Hadi menjelaskan bahwa penggunaan pin tersebut perlu dilihat dan ditelaah berdasarkan sejumlah regulasi, seperti PP Nomor 18 Tahun 2017, UU Nomor 23 Tahun 2014, UU Nomor 30 Tahun 2014, serta Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.

Dalam kerangka hukum, setiap pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBD harus mengikuti prinsip efektivitas, efisiensi, dan kepatutan. ”Penggunaan pin DPRD memang diperlukan untuk kepentingan protokoler dan administrasi. Namun, pemilihan materialnya (emas atau logam biasa) sebaiknya disesuaikan dengan asas efektivitas, efisiensi, dan kepatutan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan,” jelasnya lagi.
Dia juga menekankan, bahwa karena pembiayaan pin tersebut berasal dari APBK, maka secara normatif anggaran itu wajib memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kemanfaatan bagi publik.
Kemudian, Dr. Hadi menilai bahwa jika penggunaan pin emas lebih menonjolkan simbol kemewahan dibanding nilai substansi, maka hal tersebut tidak selaras dengan semangat reformasi birokrasi dan pelayanan publik. “Apabila penggunaan emas lebih menonjolkan simbol kemewahan daripada substansi, maka hal tersebut dapat dipandang tidak selaras dengan semangat reformasi birokrasi dan pelayanan publik,” tegasnya.
Menurutnya, penggunaan bahan logam biasa sudah cukup dan tidak akan mengurangi marwah serta kehormatan para anggota dewan. “Lebih baik penggunaan pin emas digantikan dengan logam yang lain, apakah logam biasa, karena itu tidak substantif terhadap kinerja DPRK. Lebih bermanfaat jika anggaran yang ada digunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat,” ujar pakar Hukum Tata Negara itu.
Di tegaskannya lagi, bahwa wibawa anggota dewan tidak terletak pada perhiasan atau simbol emas, melainkan pada sikap, kepercayaan, dan tanggung jawab terhadap rakyat yang mereka wakili.
”Tidak menggunakan pin emas tidak akan menghilangkan wibawa anggota DPR. Karena yang dibangun itu adalah kepercayaan dan amanah untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat,” katanya.
Komentar