Nanggroe.net, Banda Aceh | Mahasiswa UIN Ar-Raniry, Rizki Ardian menanggapi surat Sekretariat Daerah Aceh yang di tujukan kepada 10 Kepala Daerah di Provinsi Aceh terkait peringatan hari damai Aceh ke-15 tahun 2020 dengan menggelar touring pakai Motor Gede (Moge).
“Peringatan hari damai Aceh ke-15 untuk memfasilitasi pengamanan jalan sepanjang rute dilakukan Tour Hari Damai Aceh sangatlah tidak beretika,” tegas Rizki lewat rilisnya yang diterima Nanggroe.net Rabu (12/8).
Menurutnya, perdamaian Aceh merupakan harapan besar masyarakat untuk dapat merasakan hidup lebih aman, damai dan sejahtera. Kondisi masyarakat Aceh sekarang dinilai belum sampai ke taraf tersebut.
Baca Juga : Peringati Hari Damai Aceh ke-15, BRA Gelar Touring pakai Moge
“Seharusnya pemerintah Aceh harus berpikir bagaimana cara masyarakat dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat terlebih dahulu bukan dengan hura-hura show motor gede di atas penderitaan dan air mata korban konflik seperti itu, apa yang dilakukan oleh pemerintah Aceh hari ini sangatlah tidak reflektif, tidak substantif dari makna peringatan damai dan tujuan damai itu sendiri,” tandasnya.
“Berapa banyak korban jiwa, baik dari masyarakat sipil, eks kombatan GAM dan aparat keamanan saat terjadinya konflik, apa yang sudah pemerintah berikan untuk keluarga korban, sudahkah keluarga korban hidup lebih layak, restorative justice dilakukan, pengadilan ham? Serta anak korban mendapat pendidikan yang memadai,” lanjutnya.
Riski menambahkan, dengan gaya peringatan damai yang dilakukan oleh pemerintah Aceh hari ini adalah style kompeni dan Feodalistik, sangat melukai hati keluarga korban, sangat tidak etis dilakukan dengan kondisi Aceh seperti hari ini.
Baca Juga : Pandemi dan Euforia Moge dalam Bingkai Perdamaian Aceh ke-15
“Kita tidak melarang perayaan dengan touring Motor Gede, tapi untuk sekarang belum tepat dilakukan, Peringatan damai Aceh haruslah memenuhi rasa keadilan, rasa kemanusiaan, dan kesadaran moral yang baik, agar tidak menimbulkan luka bagi para korban di masa konflik.,” tandasnya.
Kata Rizki, Psikologi para korban harusnya menjadi pertimbangan pemerintah Aceh dan BRA , BRA seharusnya mendorong sebelum memutuskan haruslah mengkaji secara ilmiah agar damai Aceh lebih substantif, kuat dan berdampak ke depan.
“Tugas Badan Reintegrasi mestinya bukanlah untuk tampil penuh hura-hura, masih banyak persoalan perdamaian yang belum selesai di Aceh, masih banyak korban konflik yang belum merasakan kesejahteraan pasca perdamaian,” tergasnya kembali.
Lanjutnya, Di usia 15 tahun, perdamaian belum berdampak pada penguatan pertumbuhan ekonomi rakyat, hanya saja dirasakan oleh pejabat, politisi dan elite pengusaha di lingkaran pemerintahan, Ini yang harus dipikirkan oleh BRA, belum lagi berbicara poin-poin MoU yang belum selesai,dan masih menjadi tarik ulur pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat.
“Oleh karena itu, kami sangat sangat menyayangkan,semangat perdamaian yang seharusnya kita rawat bersama ternodai dengan pola yang dilakukan oleh BRA, maka dari itu kami meminta kepada Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) agar segera memberikan rekomendasi tertulis kepada Gubernur Aceh untuk memecat ketua BRA karena telah mengkhianati semangat perdamaian Aceh dan melukai hati para korban konflik,” cetusnya.
“Terutama dari masyarakat sipil dan eks kombatan GAM. Ketua BRA dinilai telah melakukan kesewenang-wenangan atas penderitaan rakyat Aceh, dan tidak mampu menerjemahkan substansi perdamaian Aceh,” lanjut cetusnya.
Serta dirinya meminta Presiden Republik Indonesia untuk mencopot Sekda Aceh, karena masyarakat Aceh sangat serius untuk merawat perdamaian, dengan cara pemerintah Aceh memperingati hari perdamaian seperti ini.
“Ini sangat melukai hati rakyat Aceh terutama korban konflik, kita tidak ingin muncul konflik-konflik baru di Aceh dan kami meminta gaya-gaya baru melukai hati orang aceh seperti tour motor gede di hari perdamaian segera dihentikan,” pungkas Rizki Ardial yang juga mantan Presma UIN Ar-Raniry itu.
Komentar