JAKARTA, NANGGROE.MEDIA | Gelombang aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai kota Indonesia pada 28 hingga 31 Agustus 2025 menyisakan duka mendalam. Sedikitnya delapan orang dilaporkan meninggal dunia akibat berbagai insiden yang terjadi selama aksi berlangsung.
Mereka berasal dari beragam latar belakang, mulai dari mahasiswa, pengemudi ojek online, hingga staf pemerintahan daerah.
Korban pertama tercatat di Jakarta pada 28 Agustus. Seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan (21) tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob Polda Metro Jaya saat sedang menyeberang jalan. Insiden ini memicu kecaman luas karena dianggap sebagai bentuk kelalaian aparat dalam mengendalikan kendaraan taktis di tengah kerumunan massa.
Di Makassar, pada 29 Agustus, situasi kericuhan semakin parah. Gedung DPRD Kota Makassar yang menjadi titik konsentrasi massa dilaporkan terbakar saat aksi berlangsung. Dua orang staf DPRD ikut menjadi korban, yakni Muh Akbar Basyri/Abay (28), staf humas dan protokoler Set. DPRD Kota Makassar, serta Sarinawati (26), staf Set. DPRD Kota Makassar. Keduanya terjebak di dalam gedung dan tidak sempat menyelamatkan diri dari kobaran api.
Korban lain di Makassar adalah Saiful Akbar (43), Plt Kasi Kesra Kec. Ujung Tanah Kota Makassar. Ia meninggal setelah melompat dari lantai tiga gedung DPRD saat berusaha menyelamatkan diri dari kebakaran. Sementara itu, Rusdamdiansyah (25), seorang pengemudi ojek online, tewas setelah dikeroyok massa. Ia dituduh sebagai intel yang menyusup ke tengah demonstrasi.
Tidak hanya di Makassar, di Surakarta pada 29 Agustus, seorang tukang becak bernama Sumari (60) juga menjadi korban jiwa. Ia meninggal dunia diduga akibat serangan jantung dan asma kambuh setelah terpapar gas air mata saat sedang beristirahat di dalam becaknya.
Korban berikutnya datang dari Yogyakarta pada 31 Agustus. Rheza Sendy Pratama (21), mahasiswa AMIKOM, dilaporkan meninggal setelah terjatuh dari sepeda motor ketika mencoba menyelamatkan diri dari tembakan gas air mata. Jenazahnya ditemukan dengan luka-luka yang diduga akibat penganiayaan, sehingga memunculkan dugaan bahwa ia tidak hanya menjadi korban jatuh, tetapi juga kekerasan.
Kasus terakhir tercatat di Semarang pada 31 Agustus. Iko Juliant Junior (19), mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), meninggal setelah kecelakaan usai mengikuti aksi. Namun, keluarga korban menemukan banyak luka lebam serta pendarahan di limpa yang mengindikasikan adanya penganiayaan. Temuan ini menambah panjang daftar dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam aksi tersebut.
Delapan korban jiwa ini menjadi simbol betapa rentannya masyarakat sipil dalam situasi konflik antara aparat keamanan dan demonstran. Gelombang aksi yang awalnya dimaksudkan untuk menyuarakan aspirasi, justru berakhir dengan tragedi kemanusiaan.
Lembaga swadaya masyarakat, organisasi mahasiswa, hingga tokoh masyarakat mendesak agar pemerintah segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap semua insiden yang menimbulkan korban jiwa. Mereka menuntut pertanggungjawaban aparat serta perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat dalam menyalurkan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Tragedi 28-31 Agustus 2025 kini menjadi catatan kelam perjalanan demokrasi Indonesia. Kehilangan delapan nyawa bukan hanya angka, tetapi representasi dari nyeri sosial yang mendalam. Publik berharap, kejadian serupa tidak kembali terulang, dan setiap korban mendapatkan keadilan yang layak.
Komentar