
NANGGROE.MEDIA, ACEH | Sudah berjalan dua puluh tahun Aceh berdamai tanpa adanya konflik peperangan. Perdamaian secara terang benderang disaksikan oleh dunia, perdamaian Aceh berlangsung dengan Penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kamis, 30 Oktober 2025.
Proses perundingan damai ini difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, melalui Crisis Management Initiative (CMI). Setelah perjanjian tersebut, perayaan Hari Damai Aceh sering diadakan di berbagai lokasi di Aceh, seperti Banda Aceh dan Bener Meriah, untuk memperingati momen bersejarah tersebut.
Sudah saatnya kita bicara apa adanya, kepemimpinan di bumi Aceh hari ini berjalan tanpa arah dan tanpa manajemen yang sehat. Semua persoalan, bahkan yang sepele harus dipegang langsung oleh orang nomor satu seakan-akan hanya dia yang bisa bekerja. Mulai dari urusan kecil hingga besar, semuanya “dipawang” sendiri, sementara para Kepala Dinas dan pejabat OPD hanya menjadi penonton di balik meja empuk.
Pertanyaannya sederhana, apa guna mereka digaji jika semua ditangani sendiri oleh pemimpin tertinggi ? ini bukan bentuk ketegasan, tetapi bukti gagalnya sistem manajemen pemerintahan yang sehat. Seorang pemimpin seharusnya membangun tim kerja, bukan menjadi satu-satunya pemain di panggung kekuasaan.
Pemerintahan bukan tempat bermain sandiwara, bukan panggung blusukan, foto-foto, dan pencitraan sementara rakyat tetap menjerit karena kemiskinan. Jika gaya kepemimpinan seperti ini terus dipertahankan, Aceh tidak akan pernah maju. Kita hanya sibuk memoles citra tanpa memperbaiki isi.

Rakyat butuh bukti bukan janji
Kami rakyat Aceh sudah lelah hidup dalam kebohongan dan harapan palsu. Aceh ini kaya raya tanahnya subur, lautnya luas, perut buminya penuh emas hitam tetapi rakyatnya masih dalam keadaan miskin. Apakah kami harus mati dulu baru bisa menikmati hasil bumi sendiri ?.
Dua puluh tahun sudah perdamaian berjalan, tetapi di mana kemakmuran yang dijanjikan ? masih banyak rumah rakyat yang tak layak huni, jalan rusak di mana-mana, anak muda menganggur, dan harga kebutuhan terus melambung. Sementara pejabat sibuk berpidato, berkunjung, dan berswafoto seolah-olah itu sudah menjadi solusi.
Kami tidak butuh pencitraan ini itu, kami butuh kerja nyata, kami butuh lapangan kerja, bukan kamera kerja. Jika sumber daya alam Aceh dikelola dengan benar, tidak akan ada lagi rakyat yang kelaparan di tanah yang disebut kaya.
Bangun Aceh dengan manajemen bukan emosi kekuasaan
Sudah saatnya Aceh dipimpin dengan akal sehat, bukan dengan ego. Pemimpin sejati bukan yang turun ke lapangan untuk disorot kamera, tetapi yang membangun sistem agar semua lini pemerintahan berjalan efisien.
Jika semua urusan harus diurus sendiri, lalu di mana fungsi kepala dinas ? dimana tanggung jawab pejabat struktural ? apakah semua hanya simbol tanpa kerja ?.
Rakyat Aceh tidak butuh pemimpin yang tampil gagah di media. Kami butuh pemimpin yang membangun kerja tim, menghidupkan ekonomi rakyat, dan menata birokrasi agar kembali berfungsi. Sudah cukup pencitraan, sudah saatnya bekerja untuk Aceh, bukan untuk nama pribadi.
Oleh :
Hendrika Saputra, A.Md
Ketua JWI Aceh Timur




Komentar