Nanggroe.net, Lhokseumawe | Kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia belum dituntaskan oleh negara sampai saat ini, terkesan isu penuntasan Ham adalah omong kosong yang di ucapkan setiap tahun nya, seperti Peristiwa pembantaian antara tahun 1965 hingga 1966, Peristiwa Tanjung Priok (1984), penembakan misterius Petrus (1982-1985), Pembunuhan aktivis wanita bernama marsinah, pelanggaran HAM Aceh,Pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib pada tahun 2004, hingga kasus pelanggaran HAM di Papua dan masih banyak lagi.
Arisky RM yang merupakan Bendahara Umum BEM Unimal menyebutkan ” Tahun ke tahun pelanggaran HAM hanya menjadi cerita dan janji palsu yang dikumandangkan sementara anak, saudara serta kerabat korban dipaksa tegar terhadap luka yang dibuat sengaja.
Baca Juga : Anggota RAPI Aceh Utara Selalu tanggap, memberikan informasi di tengah bencana.
” Berulang kali kita mendengar celoteh bodoh dari tokoh tokoh tak bermoral dan berlagak seolah serius untuk menuntaskan luka berat rakyat indonesia tetapi sayang nya, itu kembali menjadi cerita manis yang bahkan kita tidak tau kapan selesai nya. Bahkan saat itu pidato Presiden terpilih Joko Widodo atau Jokowi yang bertajuk Visi Indonesia menuai kritik kalangan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebab, dalam paparan tentang visi pemerintah lima tahun ke depannya itu Jokowi tak menyinggung soal penegakkan HAM di Indonesia dan penyelesaian masalah HAM berat di masa lampau. Dari itu semakin jelas, bahwa memang penuntasan tersebut tidak menjadi hal yang benar benar diprioritaskan. Ditambah lagi kejadian, pada awal tahun 2019, Kejaksaan Agung memutuskan mengembalikan berkas perkara pelanggaran HAM lama yang diserahkan Komnas HAM.
Kejaksaan menilai berkas tersebut tak memenuhi persyaratan formil dan materiil. Kasus-kasus yang dilaporkan itu tergolong menelan banyak korban jiwa. Beberapa di antaranya adalah peristiwa kerusuhan dan pembantaian pada 1965-1966, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa penembakan misterius (petrus) pada 1982-1985, peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan Semanggi II, serta peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Selain itu, ada pula peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, juga peristiwa Wasior dan Wamena. Tiga berkas pelanggaran HAM berat di Aceh juga turut dikembalikan, yaitu peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999, tragedi Jambo Keupok, dan peristiwa Rumah Geudong.
Namun pelanggaran HAM dinilai juga dilakukan oleh non-pemerintah. Dari ini, wajar ketika timbul ketakutan dari seluruh rakyat indonesia jika memang para pelanggar HAM tersebut dilindungi payung kekuasaan, kata Arisky rm Terkhusus di aceh yang juga sebagai provinsi yang mengalami pelanggaran HAM juga belum tertuntaskan.
Seperti simpang KKA, jembatan ara kundo, peristiwa rumoh geudong dan lain lain juga belum ada kejelasan, maka kami juga menyertakan permintaan kepada pemerintah aceh untuk memperkuat KKR Aceh dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang ada di Aceh serta melakukan penerapan konsep keadilan transisi dalam setiap kebijakan aceh untuk menjamin ketidak berulangan kasus pelanggaran HAM dimasa depan. Tutup Arisky RM.
Komentar