
NANGGROE.MEDIA, ACEH BARAT DAYA | Muhammad Hatta, peternak ayam boiler asal Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh menggugat Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke Pengadilan Negeri Blangpidie atas dasar pemadaman listrik pada akhir September 2025 lalu. Blackout (pemadaman listrik) itu mengakibatkan sebanyak 18 ribu ekor ayam ternak miliknya mati.
Dalam gugatan tersebut, Muhammad Hatta didampingi oleh kuasa hukum nya yakni, Miswar. Miswar selaku kuasa hukum penggugat mengatakan bahwa kliennya sudah melayangkan somasi terhadap PT PLN di Jakarta untuk menuntut kompensasi. Somasi dilakukan hingga tiga kali.
Setelah melayangkan somasi itu, pihak PLN Unit Induk Distribusi Aceh baru membalas setelah somasi ketiga pada tanggal 20 Oktober 2025. Namun, jawabannya hanya berupa permohonan maaf akibat pemadaman listrik.
”Akhirnya kemarin kami gugat ke Pengadilan Negeri Blangpidie,” kata Miswar di Aceh Barat Daya, Kamis, 13 September 2025, dikutip dari Tempo.
Miswar menjelaskan, pada tanggal 29 September 2025 yang lalu telah terjadi pemadaman listrik selama lebih dari 12 jam. Pemadaman itu terjadi selama tiga hari berturut-turut, tanpa pemberitahuan resmi dari PLN.
Miswar menyatakan, bahwa pemadaman listrik berturut-turut selama tiga hari berdampak langsung pada kegiatan usaha kliennya yang memang bergantung pada suplai listrik. Terutama untuk pengoperasian sistem ventilasi dan penerangan pada kandang ayam.
Peternak asal Gampong Blang Blang Raja itu mengalami kerugian diperkirakan mencapai Rp 800 juta karena 18 ribu ekor ayam pedaging mati akibat pemadaman listrik selama tiga hari berturut-turut.
Padahal, kliennya sudah menyiapkan genset, tetapi akibatnya tak ada kepastian hidup listrik, akhirnya genset tersebut meledak. Menurut Miswar, kuasa hukum penggugat, kalau membeli genset baru juga terkendala bahan bakar minyak yang tidak bisa dibeli secara berkepanjangan. Sebab, aktifitas pom bensin ikut terganggu.
Dia menilai, tindakan PLN yang tidak memberitahukan jadwal pemadaman listrik dan tanpa memberikan kompensasi akibat pemadaman tersebut adalah bentuk kelalaian (negligence).
Menurutnya, hal itu telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana di syaratkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1229 K/Pdt/2006 serta Putusan MA Nomor 2314 K/Pdt/2013.
Miswar menjelaskan, sebagai pelaku usaha atau pemegang izin usaha di bidang ketenagalistrikan, semestinya PLN tunduk dan patuh terhadap Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan.
”Serta, memberikan kompensasi berupa ganti kerugian kepada pelanggan akibat kesalahan atau kelalaian dalam mengoperasikan ketenagalistrikan di Aceh,” jelasnya.
Tak hanya itu saja, Miswar mengungkapkan, bahwa PLN telah melanggar Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Beleid (kebijakan) itu mewajibkan pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian konsumen akibat jasa yang tidak sesuai standar mutu sebagaimana mestinya.
Akibat kelalaian PLN yang tidak melaksanakan kewajiban pemberitahuan secara resmi mengenai pemadaman listrik tersebut, serta buruknya pelayanan kelistrikan di Aceh, kliennya telah mengalami kerugian materil diperkirakan mencapai Rp 784 juta.
Kliennya juga mengalami kerugian immateriil berupa terganggunya reputasi usaha, kehilangan kepercayaan mitra, serta penderitaan moril atas kelalaian PLN dalam memberikan pelayanan publik yang seharusnya berkualitas. Kerugian immateril ditaksir sebesar Rp 1 miliar.
“Atas dasar itu, kami menggugat PT PLN untuk membayar kerugian materil kepada klien saya secara tunai sebesar Rp 784 juta. Kemudian PLN juga harus membayar kerugian immateriil kepada klien saya secara tunai dan sekaligus sebesar Rp 1 miliar,” ujar Miswar.
Selanjutnya, dilansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Blangpidie, gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 11/Pdt.G/2025/PN Bpd. Penggugat adalah PT Meuligo Raya. Sedangkan tergugat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam hal ini PT PLN Unit Induk Wilayah Aceh.
Kemudian petitum gugatan belum dapat ditampilkan di laman tersebut, hanya tertera nilai sengketa sebanyak Rp 1.784.200.000 atau Rp 1,78 miliar. Dan sidang pertama akan digelar pada Rabu tanggal 26 November 2025.





Komentar