Lahirnya Pasal Tentang Santet dan Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia 

NANGGROE.MEDIA | Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya melakukan perubahan yang fundamental dalam sistem hukum pidana baik meliputi perundang-undangan mekanisme kelembagaan, sampai kepada pembentukan budaya hukum yang mendukung usaha pembaruan.

Usaha pembaruan hukum pidana (KUHP) di Indonesia ditujukan untuk pembaruan dan peninjauan kembali terhadap 3 (tiga) permasalahan utama dalam hukum pidana, yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act), perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal respobsibility), dan perumusan sanksi berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment), dan juga berusaha secara maksimal memberikan landasan filosofis terhadap hakikat KUHP.

Pembangunan dalam bidang hukum, khususnya pembaharuan hukum pidana tidak hanya membangun lembaga-lembaga hukum pidana, tetapi juga harus mencakup pembangunan substansi produk hukum yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan-peraturan hukum pidana dan yang bersifat kultural yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum.

Pembaruan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana atau penal policy. Menurut Barda Nawawi, latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana ditinjau dari aspek sosio politik, sosio filosofis, sosio cultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum (Barda Nawawi Arief, 2002:30).

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.

Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaruan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Menurut Barda Nawawi (Barda Nawawi Arief, 2008:29) Kebutuhan untuk melakukan pembaruan hukum pidana (penal reform) di Indonesia sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan.

Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara, yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal), karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia saat ini yang merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda perlu dibenahi, mengingat Indonesia dan Belanda merupakan dua bangsa yang memiliki karakter serta latar sosial yang berbeda. KUHP yang berlaku saat ini dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.

Adanya ketidaksesuaian dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat saat ini, membuat pembaharuan dalam hukum pidana (KUHP) menjadi sangat mendesak dan menjadi salah satu pekerjaan rumah yang cukup besar dalam agenda kebijakan/politik hukum di Indonesia.

Dimana halnya beberapa isi dari RKUHP yang akan diterbitkan pada 2026 mendatang isinya adalah sesuai dengan hukum modern, dimana halnya pembaharuan hukum pidan aini sifatnya mengikuti perkembangan zaman dimana, masyarakat sudah berada di era modern, sehingga hukum pun harus dapat mengikuti perkembangan tersebut, dimana halnya tujuan dari pembaharuan hukum pidana ini nantinya akan memberika dampak efek jera dan lebih menertibkan masyarakat bagi yang melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam RKUHP tersebut.

Di dalam Pasal 252 Ayat (1) disebutkan, setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta).

Jika setiap orang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (vide Ayat 2).

Selanjutnya, disebutkan dalam penjelasan Pasal 252 RUU KUHP bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.

Dijelaskan pula bahwa ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).

Dimana akhir-akhir ini sering kita kenal istilah santet atau ilmu gaib ini muncul di Indonesia seperti halnya orang yang memiliki permusuhan dengan orang lain apabila memiliki dengan pribadi maka akan menyantet seseorang sebagai balas dendam.

Dimana selama ini belum ada aturan tentang pidana santet ini sehingga Ketika diperbaharui KUHP terdapat sanksi pidana bagi yang melakukan santet ini guna meminimalisir tindak pidana santet di Indonesia.

Dampak dari santet ini sungguh berbahaya bahkan bisa sampai menyebabkan kematian, karna ilmu hitam ini bersifat membuat seseorang menjadi sakit parah, bahkan sampai meninggal yang dilakukan oleh para dukun yang disuruh untuk melakukan hal tersebut dikarenakan adanya misal, rasa sakit hati, dendam, iri hati kepada orang lain sehingga membalasnya dengan santet.

Penulis : Multa Hadi 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar