Pelaksana Tugas, Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, belum sukses ‘Memimpin Aceh’. Namun berhasil untuk ‘Kelompoknya’.
Kautsar Muhammad Yus, kembali berhasil meyakinkan Plt.Gubernur Aceh, setelah gagal di Pileg pada tahun 2019 lalu. Ia berhasil mengalihkan perhatian publik. Tim Pemerintah Aceh yang lemah pada saat-saat sebelumnya, kini sudah diperkuat oleh anak-anak revolusi kala itu, pelaksanaan pemerintahan seketika berubah, yang dulunya kaku kini bebas.
Seolah-olah, mereka dapat meyakinkan semuanya, tetapi strategi itu sepertinya tidak berlaku pada anak-anak muda Aceh yang masih peduli terhadap Aceh. Bagaimana tidak, seminggu yang lalu malah muncul sekelompok anak-anak muda hebat, yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Kota Banda Aceh, bersamaan dengan generasinya memberikan masukan atau mengkritisinya, tepat di Tiga tahun pemerintahan Aceh.
Mereka pun diamankan oleh Polresta Kota Banda Aceh, dengan alasan mereka tidak mendapatkan Surat Izin Pemberitahuan Aksi, dengan alasan Covid-19, padahal alasan itu tidak masuk akal, mengingat pasca New Normal.
Lalu kenapa energi publik ini mendarat kepada Ketua DPR Aceh?
Sepertinya, Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, memberikan tugas khusus untuk Kautsar Muhammad Yus, dalam mengelola DPR Aceh di luar kelembagaan, sebagai Ekstra Parlemen, ia terus bergerak dengan cara-cara politisnya, untuk melemahkan gerak, lajunya Ketua DPR Aceh.
Pertanyaan di atas penting untuk kita jejaki, melihat dinamika perpolitikan Aceh, yang sedang dimainkan oleh segelintir orang saja, tapi bisa menghentikan langkah Ketua DPR Aceh itu, yang konon katanya juga sebagai Eks aktivis gerakan mahasiswa di kampus UGM Yogyakarta kala itu.
Bagaimana tidak, publik menggantungkan harapan pada Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, kini mendadak ‘Matee Gaya’, hilangnya martabat dan kewibawaan sebagai Lembaga Harapan Rakyat Aceh. Fungsi, Tugas dan Kewenangannya ditinggalkan oleh Dahlan Jamaluddin, yang sebelumnya pernah berjanji akan terus mengawal kepentingan Rakyat Aceh, di gedung yang pernah di penuhi oleh Aktivis Gerakan Mahasiswa Aceh pada tahun 1999 kala itu.
Inikah Semangat Kolektif-Kolegial DPRA Dalam Membangun Aceh?
Ada banyak kritikan dan masukan yang diberikan ke DPRA wabil khusus, kepada Ketua DPR Aceh, sebut saja tuntutan salah satu dari sekian banyak UUPA, di bagian Arah Perekonomian Aceh, di antaranya.
Pengelolaan Sumber Daya Minyak dan Gas Bumi, Perikanan dan Kelautan, Perdagangan dan investasi, Peruntukan Lahan dan Pemanfaatan Ruang, Infrastruktur Ekonomi dan Tenaga Kerja.
Anggaran Refocusing dan Realokasi Covid-19, Rekomendasi Komisi IV, Terkait Proyek Multiyears, Sidang LPJK Plt. Gubernur Aceh tidak hadir, diduga berdasarkan Permenkeu dana Otsus Aceh 2019 tidak dikirim pusat seluruhnya, dan masih banyak tuntutan lainnya.
Ini adalah bentuk lemahnya fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terhadap kebijakan eksekutif. Lantas siapa yang akan menjawab tuntutan publik ini?
Tentu untuk memenuhi hasratnya, maka “Rakyat menitipkan harapan pada Wakilnya”, dengan sejumlah tuntutan yang ada, yang belum dimenangkan atau dilaksanakan oleh pemerintah Aceh saat ini.
Setelahnya, sampai kapan Aceh akan terus berada dalam mimpi atau ide-ide besarnya? Dimana diagnosa kewarasan politik DPR Aceh?
Apakah ini sebagai bentuk apatisme atau justru karena ketidakberpikiran dan ketidaktahuan?
Sementara kita pendam dulu, sembari menunggu, langkah apa yang akan diambil oleh pimpinan DPR Aceh, untuk menyelesaikan tuntutan publik.
Oleh : Fakhrurrazi
Direktur Aktivis Milenial Aceh
Isi tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis.
Komentar